Berikut sejarah koran pertama kalinya terbit di Indonesia
KORAN apa yang pertama terbit di Indonesia? Harian Berita Indonesia. Terbit pertama kali di Jakarta, 6 September 1945–20 hari paska proklamasi.
Bila pertanyaannya, koran apa yang pertama terbit di negeri yang hari ini bernama Indonesia? Maka, jawabannya Bataviase Nouvelles, yang terbit perdana di Batavia, 7 Agustus 1744.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
Batavia, pertengahan abad tujuh belas…
Jan Erdman Jordens pegawai VOC yang punya bisnis kecil-kecilan. Hari itu, ia tampak asyik dengan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff.
Obrolan seputar kedatangan teknologi baru ke Batavia; mesin cetak. Mulanya, mesin itu digunakan hanya untuk menggandakan laporan-laporan VOC terkait negeri jajahan. Istilahnya bookbinder.
Jordens menyampaikan ide brilian. Menerbitkan surat kabar. Gayung bersambut. Gubernur Jenderal VOC ke-27 itu setuju. Mereka menamai koran itu Bataviase Nouvelles.
Bataviase merujuk pada sebutan untuk orang-orang Batavia, mereka yang hidup di Batavia dan mereka yang berselera Batavia.
Istilah Bataviase ini, mengingatkan kita pada istilah Parisian untuk orang-orang Paris, New Yorker untuk orang-orang New York atau Berliner untuk orang-orang Berlin.
Sedangkan Nouvelles serupa dengan news. Kurang lebih artinya berita baru.
Pendek kisah, 7 Agustus 1744, edisi perdana Bataviase Nouvelles terbit empat halaman. Dicetak dalam layout dua kolom. Ukurannya sedikit lebih besar daripada folio.
Koran pertama itu, “terbit seminggu sekali. Tapi Jordens punya angan menjadikannya harian,” tulis Kasijanto Sastrodinomo dalam Media dan Monopoli Dagang, Percetakan dan Penerbitan di Indonesia Pada Masa VOC, termuat dalam jurnal Wacana, Vol. 10 No. 2, Oktober 2008.
Karena diterbitkan oleh kamar dagang VOC, mula-mula beritanya hanya seputar perdagangan, berbagai ketentuan administrasi, pengangkatan dan pemberhentian pejabat hingga pemecatan dan kematian pegawai VOC.
Tak ketinggalan informasi kedatangan kapal, doa-doa keselamatan bagi kapal yang akan berlayar jauh menyeberang ke negeri induk, pesta-pesta, jamuan serta obituari. Khas mencerminkan kota pelabuhan.
“Dalam beberapa edisi, koran itu juga menerbitkan karangan tentang sejarah awal koloni, dan sejarah gereja secara singkat. Semacam feature yang banyak ditulis dalam media sekarang,” tulis Kasijanto.
Sebagai koran dagang, Batavise Nouvelles memenuhi sebagian besar halamannnya dengan iklan dan berita lelang.
Mendapat sambutan hangat dari masyarakat Batavia, pada 9 Februari 1745 surat izin usaha Bataviase Nouvelles diperpanjang hingga tiga tahun ke depan.
Namun, lain lubuk memang lain pula ikannya. De Heeren Zeventien (Tuan-tuan XVII, yakni 17 anggota Dewan Direktur VOC) di Amsterdam, Belanda, khawatir koran itu akan membuka informasi yang sifatnya “rahasia.”
Maka, melalui sepucuk surat bertanggal 20 November 1745, De Heeren Zeventien meminta van Imhoff memberedel Bataviase Nouvelles.
Jordens dibuat termenung. Mengingat-ingat berita di koran itu tak pernah mengkritisi VOC. Begitu pula Gubernur Jenderal van Imhoff.
Sekadar catatan, Imhoff adalah orang yang membangun kantor pos pertama di Batavia. Dia pula yang menyatukan sembilan perdikan (perkampungan) di Pakuan, sekitar Istana Peristirahatan Gubernur jadi satu wilayah administratif bernama Buitenzorg (kini Bogor).
Apa daya, van Imhoff tak kuasa melawan perintah atasan. Sejak 20 Juni 1746, Bataviase Nouvelles tidak lagi menjadi bagian dari sarapan pagi masyarakat dan para pelaut di Batavia.
Cikal Bakal
Setelah memeriksa sejumlah literatur sejarah, semangat menerbitkan Bataviase Nouvelles sebetulnya diilhami Memorie der Nouvelles milik Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal keempat Serikat Dagang Hindia Timur atau VOC (1617-1623).
Saat menjabat, Coen memerintahkan anak buahnya membuat lembaran berita internal. Empat halaman kertas folio ditulis tangan.
Isinya berita ringkas kegiatan perdagangan serta kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal niaga, baik di Batavia maupun di berbagai factorijen, pos-pos perdagangan Belanda.
“Memorie diedarkan di kalangan pejabat dan pegawai kompeni setelah melalui proses pemeriksaan,” ungkap F. de Haan, sejarawan kolonial penulis buku Oud Batavia.
Karena prosesnya manual–belum ada mesin cetak–oplah “surat kabar” yang coba-coba dirintis Coen itu tentu sangat terbatas.
Mesin cetak baru masuk ke Hindia Timur pada 1668, ada juga yang menyebut 1659. Yang terakhir merujuk laporan Niehoff dalam Zae en Lantreise, dilansir dari Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 karya Agung Dwi Hartanto.
Begitu mesin cetak masuk Batavia inilah, Jan Erdman Jordens pegawai VOC yang punya bisnis kecil-kecilan menyampaikan gagasan menerbitkan koran yang jauh lebih modern dibanding Memorie.
Di mana pun di dunia ini, sejarah pers memang bertaut-paut dengan keberadaan mesin cetak.
sumber: jpnn.com
editor: lea