Saturday, December 30, 2023
Google search engine
HomeNews FlashPerlunya Reformasi Kebijakan Pengadaan Pemerintah Sektor Konstruksi

Perlunya Reformasi Kebijakan Pengadaan Pemerintah Sektor Konstruksi

Makalah Seminar

” REFORMASI KEBIJAKAN TERKAIT PENGADAAN PEMERINTAH BAGI PENGEMBANGAN IKLIM USAHA DI SEKTOR KONSTRUKSI DALAM RANGKA MENINGKATKAN DAYASAING DAN NILAI MANFAAT INFRASTRUKTUR “

A. PENGANTAR

  1. Sektor konstruksi merupakan sektor perekonomian yang strategis dengan berkontribusi terhadap perekonomian nasional mencapai hingga 9% PDB dan menghasilkan infrastruktur hingga 70% pembentukan modal tetap bruto (gross fixed capital formation) dan penyerapan tenaga kerja hingga 10 juta orang/ tahun (Suraji dan Pribadi, 2014). Sektor ini melibatkan berbagai usaha mulai dari developer, konsultan, kontraktor, vendor, supplier, pabrikator dan pertambangan yang membentuk rantai nilai horisontal dan vertikal dari barang dan jasa (London, 2012). Studi LKPP (2015) menemukan bahwa iklim usaha di sektor konstruksi Indonesia masih belum baik. Berdasarkan persepsi stakeholder, perhitungan indek iklim usaha di sektor konstruksi menghasilkan nilai 12.02 dari skala 0 – 100. Kontribusi dan determinasi dari ketentuan dan persyaratan dalam pengadaan pekerjaan konstruksi di Pemerintah, regulasi usaha di sektor konstruksi dan regulasi publik lainnya terhadap pembentukan iklim usaha berturut – adalah 40,66 (IKU_RP); 42,6 (IKU_RK) dan 37, 18 (IKU_AL). Perhitungan indek iklim usaha di daerah lokasi studi berturut-turut menunjukkan bahwa Makassar (32,45), Bandung (10,85), Pontianak (14,26), Kupang (10,04). Secara umum, stakeholder yang terlibat dalam studi ini meminta agar ketentuan dan persyaratan baik dalam pengadaan pemerintah dan peraturan usaha di sektor konstruksi perlu disederhanakan.
  2. Studi lanjutan LKPP (2016) mengukur implikasi kebijakan terkait pengadaan pemerintah terhadap iklim usaha, kinerja industri konstruksi dan nilai manfaat (value for money) infrastruktur. Kebijakan terkait pengadaan meliputi regulasi sistem dan proses pengadaan (market related regulations) dan regulasi industri konstruksi (industry related regulation). Tujuan makalah ini adalah melaporakan hasil kajian tersebut. Makalah ini disusun berdasarkan kompilasi hasil pemetaan iklim usaha di sektor konstruksi dan kajian implikasi kebijakan terkait pengadaan pemerintah. Dalam makalah ini, sektor konstruksi dikonsepsikan sebagai suatu sektor perekonomian yang terkait dengan penyediaan infrastruktur dan atau properti (gedung). Sektor konstruksi terdiri dari dua bagian yaitu pasar konstruksi (demand/ pengusahaan infrastruktur/ properti) dan industri konstruksi (supply/usaha menyelenggarakan penyediaan infrastruktur/ properti). Industri konstruksi adalah adalah kegiatan ekonomi produksi yang mengolah bahan alam dan atau bahan pabrikan menjadi suatu produk bangunan baik infrastruktur maupun properti melalui suatu sistem penyelenggaraan proyek tertentu dari pengkajian, pembiayaan, perencanaan, perancangan, pelaksanaan pembangunan, rehabilitasi/ renovasi, operasi dan pemeliharaan dan pembongkaran (Ofori, 2016, CIDB Afrika Selatan,1995, BPS, 2015).
  3. Berbagai negara maju dan berkembang selalu berupaya menjadikan industri konstruksi semakin maju, semakin efisien, semakin produktif dan semakin kompetitif dalam menghasilkan infrastruktur berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan (AsiaConstruct Proceeding, 2016). Jepang, misalnya, terus menerus memperbaiki regulasi di sektor konstruksi mulai sistem industri konstruksi, construction business acts, sistem evaluasi usaha, sistem tender dan kontrak, dan penyelenggaraan konstruksi (project delivery method), serta tatacara penyelesaian sengketa konstruksi sebagai solusi mengatasi berbagai isu strategis di sektor konstruksi (MLIT, 2016). Hadirnya UU No. 2 Tahun 2017 tentang jasa konsruksi sangat diharapkan akan dapat mewujudkan industri konstruksi yang sehat dan mampu menghasilkan infrastruktur yang memberikan nilai manfaat (value for money) yang tinggi khususnya kaitannya dengan pasar pemerintah dan juga pasar swasta.

B. DAYASAING DAN NILAI MANFAAT INFRASTRUKTUR

  1. ADB (2013) menjelaskan bahwa infrastruktur merupakan the hard assets, networks and human capital that facilitate the functioning of both the economy and civil society. ADB (2013) juga menyatakan bahwa economic infrastructure refers specifically to the services produced by airports, roads, ports, railway systems, electricity generation plants, water supplies, telecommunications, and waste management and recycling. Sedangkan social infrastructure refers to services provided to develop human capital in areas such as primary, secondary and tertiary education, facilities for police services, court facilities and corrective services, the health sector, and public buildings.
  2. Value for money is the optimum combination of whole-of-life costs and quality (fitness for purpose) of the good or service to meet the user’s requirement (HM Treasury 2006). Value for money is high when there is an optimum balance between all three elements, when costs are relatively low, productivity is high and successful outcomes have been achieved” (Audit Commission (UK). Sedangkan value for money adalah services at lower cost, of better quality or a combination of these outcomes. Prinsip utama pengadaan adalah memberikan value for money dari aset infrastruktur melalui seleksi dan penilaian proyek, pengadaan proyek dan implementasi proyek (ADB, 2013). Value for money dapat didekati dengan kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, value for money menunjukkan the overall cost of delivering the service using the most efficient alternative procurement method. Sedangkan secara kualitatif, value for money menunjukkan the elements of bids that will result in a better quality services, such as innovative design and construction methods, new technology, sustainability, early completion and increased asset utilisation.
  3. Laporan WEF (2016) menunjukan bahwa dayasaing Indonesia menurun dari 37 (2015) menjadi 41 (2016). Indek dayasaing infrastruktur Indonesia berada pada posisi 60 (2016) dan efisiensi pasar 58 (2016). Secara keseluruhan kualitas infrastruktur berada pada posisi masih rendah (80), kualitas jaringan jalan (75), kualitas jalan rel (39), kualitas pelabuhan (75), kualitas bandara (62), dan kualitas listrik (89). Dalam konteks kualitas jaringan jalan, Hamid (2015) menengarai bahwa permasalahan dalam program pembangunan jaringan jalan meliputi (i) kapasitas dan jumlah jaringan jalan kurang memadai; (ii) konektifitas antar wilayah masih rendah; (iii) jalan sering dan mudah rusak; (iv) pertumbuhan jalan nasional dan tol lambat; (v) ketimpangan pendanaan untuk penangangan jalan nasional, provinsi dankabupaten; dan (vi) kelemahan sistem kelembagaan k/l/d/i untuk koordinasi, sinkronisasi dan integrasi pengelolaan aset jaringan jalan.
  4. Berdasarkan konsep Jochimsen (1966) ini, kualitas pelayanan kepada rakyat (quality of public services) dalam suatu negara sangat ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur phisik. Misalnya, suatu institusi rumah sakit dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik jika dan hanya jika mereka memiliki prasarana phisik seperti gedung, halaman parkir, kamar operasi, kamar rawat inap, jaringan jalan, jaringan drainase, jaringan air limbah dan tempat pengolahan limbah / sampah, jaringan listrik yang jumlah dan kualitasnya memenuhi standar. Ruddock & Ruddock (2008) menyatakan bahwa industri konstruksi adalah bagian dari suatu proses mewujudkan dan menjaga keberlanjutan lingkungan terbangun. Soeparto dkk (2014) menjelaskan bahwa penyelenggaraan konstruksi di Indonesia masih kurang efektif. Proyek konstruksi baik untuk menghasilkan infrastruktur maupun properti banyak mengalami keterlambatan (delay), mengalami pembengkakan biaya (cost overrun), mengalami gagal mutu (quality defect) dan kecelakaan konstruksi (construction accidents) serta timbul sengketa antar pihak (dispute).


C. IMPLIKASI KEBIJAKAN TERKAIT PENGADAAN PEMERINTAH

  1. Kajian LKPP (2016) menemukan bahwa kebijakan pengadaan barang/ jasa, kebijakan di sektor konstruksi, kebijakan kontrak konstruksi, dan kebijakan publik lainnya berkontribusi terhadap iklim usaha di sektor konstruksi. Kontribusi kebijakan-kebijakan tersebut terhadap implikasi iklim usaha hanya sebesar 48,1%, sedangkan sisanya 51.9% merupakan kontribusi variabel lain. Sumbangan kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah, kebijakan usaha di sektor konstruksi, kebijakan kontrak konstruksi, kebijakan Pemerintah lainnya, dan iklim usaha di sektor konstruksi terhadap kinerja industri konstruksi sebesar 58,8%. Sedangkan sisanya sebesar 41,2% dikontribusikan oleh variabel lain secara hipotetis misalnya kapasitas dan kapabilitas serta model usaha dari industri konstruksi, seperti kapital manusia, finansial, teknologi, manajemen, jaringan dan pengetahuan untuk menyelenggarakan proyek konstruksi.
  2. Berdasarkan analisis data implikasi, korelasi dan struktrur parsial dan integral dari kinerja industri konstruksi terhadap value for money dalam penyediaan infrastruktur publik tersebut diperoleh simpulan bahwa kinerja industri konstruksi memiliki koefisien implikasi yang besar dan cukup signifikan terhadap value for money dalam penyediaan infrastruktur publik. Kinerja industri konstruksi ditunjukan oleh keterlambatan dalam penyelenggaraan proyek, kegagalan mutu dalam penyelengaraan proyek, intensitas kasus hukum dalam penyelenggaraan proyek, permasalahan pengadaan material, peralatan dan teknologi dalam penyelenggaraan proyek, permasalahan ketenagakerjaan dalam penyelenggaraan proyek, intensitas keterlambatan dalam penyelenggaraan proyek, intensitas gagal mutu dalam penyelenggaraan proyek dan intensitas pembengkakan biaya dalam penyelenggaraan proyek berimplikasi yang besar terhadap nilai manfaat penyediaan infrastruktur publik.
  3. Hasil analisis implikasi regulasi pengadaan pemerintah terhadap iklim usaha menunjukan hasil yang tinggi. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi pengadaan pemerintah, seperti misalnya SKA dan SBU, dan CV para personil, tambahan dokumen kualifikasi, dipersepsikan memiliki implikasi yang tinggi terhadap terjadinya pembengkakan biaya tender proyek. Begitu juga dengan persyaratan klarifikasi dokumen asli dan persyaratan tambahan dokumen kualifikasi memiliki memiliki implikasi yang tinggi terhadap terjadinya keterlambatan dan kegagalan tender proyek. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi pengadaan pemerintah menunjukkan angka determinasi terhadap terjadinya pembengkakan biaya tender proyek, keterlambatan tender proyek, kegagalan tender proyek, dan kesulitan mengikuti proses tender proyek. Sedangkan pada proses PBJ dengan SPSE dianggap tidak terlalu menyulitkan dalam mengikuti proses tender konstruksi.
  4. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi usaha di sektor konstruksi terhadap terjadinya penambahan biaya transaksi ekonomi dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, pembengkakan biaya overhead atau biaya administrasi dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, dan kenyamanan dalam mengembangkan usaha dalam penyelenggaraan proyek konstruksi menunjukkan determinasi yang tinggi, sedangkan terhadap penjaminan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi usaha dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, hambatan (entry barriers) dalam pengembangan usaha penyelenggaraan proyek konstruksi, persaingan sehat dan penghilangan monopoli pelaksanaan usaha dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, menunjukkan determinasi sedang.
  5. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi usaha di sektor konstruksi, misalnya SKA, SKT, PJBU, PJT, TKDN, dan Pajak dipersepsikan memiliki implikasi yang tinggi dengan pembengkakan biaya overhead atau biaya administrasi dalam penyelenggaraan proyek konstruksi. Ketentuan dan persyaratan SBU, IUJK, Persyaratan Klasifikasi dan Kualifikasi, ISO, OHSAS/ SMK3, SKA, SKT, PJBU, PJT, TKDN, dan Pajak memiliki implikasi sedang terhadap penjaminan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi usaha dalam penyelenggaraan proyek konstruksi.
  6. Dalam hal implikasi persyaratan dan ketentuan dalam regulasi kontrak konstruksi dapat dilihat pada tabel berikut. Dari indikator-indikator pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator tersebut memiliki PENGARUH POSITIF, artinya jika kebijakan pemerintah dalam bentuk aturan dan regulasi dalam hal kontrak konstruksi semakin baik dan terjamin maka akan memberikan efek positif terhadap kondusivitas iklim usaha di sektor konstruksi.
  7. Hasil analisis implikasi regulasi pengadaan pemerintah terhadap iklim usaha menunjukan relatif sedang ke tinggi. Implikasi persyaratan dan ketentuan dalam regulasi pengadaan pemerintah, seperti misalnya SKA dan SBU, dan CV para personil, tambahan dokumen kualifikasi, terhadap terjadinya pembengkakan biaya tender proyek adalah paling tinggi (6.18) dibanding dengan implikasi persyaratan lainnya.
  8. Ketentuan dan persyaratan SBU, IUJK, Persyaratan Klasifikasi dan Kualifikasi, ISO, OHSAS/ SMK3, SKA, SKT, PJBU, PJT, TKDN, dan Pajak memiliki implikasi mendekati tinggi (6.28) terhadap penjaminan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi usaha dalam penyelenggaraan proyek konstruksi. Selanjutnya, pemeriksaan inspektorat, pemeriksanaan BPKP, pemeriksaan BPK memberikan implikasi mendekati tinggi (6.17) terhadap kenyamanan, kemudahan dan kondusifitas dalam usaha penyelenggaraan proyek konstruksi.
  9. Disamping itu, standar material, impor bahan dan peralatan memiliki implikasi sedang (6.07) terhadap terjadinya beban biaya dan margin keuntungan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi. Disamping itu, persyaratan dan ketentuan dalam regulasi material, peralatan dan teknologi misalnya standar material, impor bahan dan peralatan, juga memiliki korelasi sangat kuat (0.98) dengan terjadinya beban biaya dan margin keuntungan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi pengadaan pemerintah menunjukkan angka determinasi (7) terhadap terjadinya pembengkakan biaya tender proyek, keterlambatan tender proyek, kegagalan tender proyek, kesulitan mengikuti proses tender proyek pada proses PBJ dengan SPSE.
  10. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi usaha di sektor konstruksi terhadap terjadinya penambahan biaya transaksi ekonomi dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, pembengkakan biaya overhead atau biaya administrasi dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, hambatan (entry barriers) dalam pengembangan usaha penyelenggaraan proyek konstruksi, persaingan sehat dan penghilangan monopoli pelaksanaan usaha dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, kenyamanan dalam mengembangkan usaha dalam penyelenggaraan proyek konstruksi menunjukkan determinasi yang paling tinggi, sedangkan terhadap penjaminan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi usaha dalam penyelenggaraan proyek konstruksi menunjukkan determinasi sedang (5 dan 6).
  11. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi administrasi kontrak, terhadap kenyamanan, kemudahan dan kondusifitas dalam usaha penyelenggaraan proyek konstruksi yang memiliki nilai determinasi tinggi (7) adalah kontrak harga satuan, kontrak lumpsum, pmbayaran uang muka, pmbayaran prestasi pekerjaan, perhitungan akhir, penangguhan pembayaran, penyesuaian  harga, penyerahan lapangan, penerbitan SPMK, program mutu, rencana pelaksanaan pekerjaan, pemeriksanaan bersama, penanggungan dan resiko, perlindungan tenaga kerja, pemeliharaan lingkungan, asuransi, permintaan persetujuan PPK, denda, klaim, penjaminan, penyelesaian sengketa, pengukuran volume hasil pekerjaan, pemeriksaan inspektorat, pemeriksanaan BPKP, pemeriksaan BPK, amandemen, addendum, review design, keadaaan kahar.
  12. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi administrasi kontrak, misalnya, kontrak harga satuan (unit price), kontrak lumpsum, pembayaran uang muka, pembayaran prestasi pekerjaan, perhitungan akhir, penangguhan pembayaran, penyesuaian harga memiliki implikasi sedang terhadap kenyamanan, kemudahan dan kondusifitas dalam usaha penyelenggaraan proyek konstruksi. Persyaratan dan ketentuan dalam  regulasi administrasi kontrak, misalnya denda, klaim, penjaminan, penyelesaian sengketa, pengukuran volume hasil pekerjaan,  memiliki implikasi yang rendah terhadap kenyamanan, kemudahan dan kondusifitas dalam usaha penyelenggaraan proyek konstruksi.
  13. Disamping itu, persyaratan dan ketentuan dalam regulasi administrasi kontrak, misalnya pemeriksaan inspektorat, pemeriksaan BPKP, pemeriksaan BPK juga berimplikasi rendah terhadap kenyamanan, kemudahan dan kondusifitas dalam usaha penyelenggaraan proyek konstruksi. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi administrasi kontrak, misalnya penyerahan lapangan, penerbitan SPMK, program mutu, rencana pelaksanaan pekerjaan, pemeriksanaan bersama memiliki implikasi yang rendah terhadap kenyamanan, kemudahan dan kondusifitas dalam usaha penyelenggaraan proyek konstruksi.
  14. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi administrasi kontrak, terhadap kenyamanan, kemudahan dan kondusifitas dalam usaha penyelenggaraan proyek konstruksi yang memiliki nilai determinasi tinggi adalah kontrak harga satuan, kontrak lumpsum, pmbayaran uang muka, pmbayaran prestasi pekerjaan, perhitungan akhir, penangguhan pembayaran, penyesuaian harga, penanggungan dan resiko, perlindungan tenaga kerja, pemeliharaan lingkungan, asuransi, permintaan persetujuan PPK.
  15. Dalam hal implikasi persyaratan dan ketentuan dalam regulasi kontrak konstruksi dapat dilihat pada tabel berikut. Dari indikator-indikator pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator tersebut memiliki PENGARUH NEGATIF, artinya jika kebijakan pemerintah dalam bentuk aturan dan regulasi selain kebijakan pengadaan, kebijakan sektor konstruksi, serta kebijakan kontrak konstruksi semakin baik dan teratur maka akan memberikan efek negatif terhadap kondusivitas iklim usaha di sektor konstruksi.
  16. Dalam hal kebijakan pemerintah lainnya, masalah perpajakan dipersepsikan memiliki implikasi yang tinggi terhadap beban biaya dan margin keuntungan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi. Disamping itu, standar material, impor bahan dan peralatan juga memiliki implikasi yang tinggi terhadap terjadinya beban biaya dan margin keuntungan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi.
  17. Analisis integral implikasi kebijakan terhadap iklim usaha, kinerja industri konstruksi dan nilai uang (value for money) infrastruktur menunjukkan bahwa terhadap korelasi dan implikasi yang bervariasi. Kebijakan dalam regulasi kontrak konstruksi memiliki implikasi yang paling besar terhadap iklim usaha, diikuti kebijakan publik lainnya, sedangkan kebijakan pengadaan hanya berimplikasi rendah dan lebih tinggi dari implikasi kebijakan usaha di sektor konstruksi. Selanjutnya, implikasi iklim usaha terhadap kinerja industri konstruksi paling besar pencapaian ketepatan waktu, ketepatan biaya, penjaminan mutu, penjaminan keselamatan pekerja, publik, harta benda, dan lingkungan. Sedangkan implikasi iklim usaha terhadap penyelesaian klaim dan sengketa, penyelesaian kasus hukum, penyelesaian ketenagakerjaan, penyelesaian tuntutan/ protes masyarakat dan penyelesaian kasus hukum dalam penyelenggaraan proyek konstruksi lebih rendah.
  18. Selanjutnya, kinerja industri konstruksi khususnya penyelesaian klaim dan sengketa, penyelesaian kasus hukum penyelesaian ketenagakerjaan, penyelesaian tuntutan/ protes masyarakat dan penyelesaian kasus hukum dalam penyelenggaraan proyek konstruksi memiliki implikasi terhadap nilai uang infrastruktur paling besar dan terhadap biaya operasi dan pemeliharaan. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi pengadaan pemerintah, misalnya bukti setor pajak, bukti payroll, bukti referensi pengalaman, terhadap terjadinya kesulitan mengikuti proses tender proyek memiliki nilai penentu paling tinggi membentuk iklim usaha. Kebijakan usaha di sektor konstruksi yaitu persyaratan dan ketentuan dalam regulasi usaha di sektor konstruksi,  misalnya SBU, IUJK, Persyaratan Klasifikasi dan Kualifikasi,  ISO, OHSAS/ SMK3, SKA, SKT, PJBU, PJT, TKDN, dan Pajak memiliki implikasi yang paling besar terhadap pembentukan iklim usaha.
  19. Penanggungan dan resiko, perlindungan tenaga kerja, pemeliharaan lingkungan, asuransi, permintaan persetujuan PPK merupakan kebijakan dari regulasi usaha di sektor konstruksi yang memiliki nilai diterminasi paling tinggi membentuk iklim usaha. Selanjutnya kemudahan, kepastian, kenyamanan usaha di sektor konstruksi, misalnya persyaratan usaha, persyaratan tender, kepastian biaya transaksi ekonomi, kepastian hukum, akses sumber daya teknologi, material dan peralatan, tenaga kerja termasuk permodalan, standarisasi pemeriksaan hasil pekerjaan merupakan indikator iklim usaha dengan nilai determinasi paling tinggi. Persyaratan dan ketentuan dalam regulasi material, peralatan dan teknologi misalnya standar material, impor bahan dan peralatan menjadi penentu dari iklim usaha yang paling besar.
  20. Berdasarkan data hasil kajian LKPP (2016), implikasi kinerja penyelenggaraan proyek konstruksi terhadap biaya operasional dan pemeliharaan infrastruktur dapat dijelaskan melalui tabel berikut ini. Dari indikator-indikator pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator tersebut memiliki PENGARUH NEGATIF, artinya jika kinerja penyelenggaraan proyek konstruksi semakin baik maka akan memberikan efek negatif terhadap biaya operasional dan pemeliharaan infrastruktur. Pada tabel di atas, persepsi responden mengenai implikasi kinerja industri konstruksi terhadap nilai manfaat infrastruktur menunjukkan nilai keterkaitan yang TINGGI (nilai pada kotak berwarna merah) pada indikator-indikator intensitas keterlambatan dalam penyelenggaraan proyek, intensitas gagal mutu dalam penyelenggaraan proyek, dan intensitas pembengkakan biaya dalam penyelenggaraan proyek. Indikator-indikator tersebut yang dipersepsikan oleh responden memiliki implikasi yang tinggi pada biaya operasional dan pemeliharaan infrastruktur. Pada tabel tersebut juga terlihat bahwa dari enam indikator kinerja penyelenggaraan proyek konstruksi yang berimplikasi terhadap nilai manfaat infrastruktur, ada tiga indikator yang memiliki nilai ranking (mean) yang cukup tinggi, yaitu indikator intensitas keterlambatan dalam penyelenggaraan proyek, intensitas gagal mutu dalam penyelenggaraan proyek, dan intensitas pembengkakan biaya dalam penyelenggaraan proyek. Ketiga hal tersebut patut mendapat perhatian dalam evaluasi kebijakan di sektor konstruksi.

D. IMPLIKASI IKLIM USAHA TERHADAP KINERJA INDUSTRI KONSTRUKSI

  1. Hasil analisis dari kajian LKPP (2016) menunjukkan bahwa terdapat implikasi antara Iklim Usaha yang mudah, pasti dan nyaman di sektor konstruksi, terhadap Kinerja industri konstruksi, khususnya pencapaian ketepatan waktu, biaya, penjaminan mutu dan keselamatan pekerja, publik, harta benda, dan lingkungan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi. Disamping hal tersebut, hasil analisis juga menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan Iklim usaha yang mudah, pasti dan nyaman di sektor konstruksi terhadap Kinerja PPK dalam hal penyelesaian masalah klaim dan sengketa, kasus hukum, ketenagakerjaan, penyelesaian tuntutan/protes masyarakat dan penyelesaian kasus hukum dalam penyelenggaraan proyek konstruksi.
  2. Pengaruh Variabel Iklim Usaha terhadap Kinerja PPK memberi nilai sebesar 0,496 yang dapat diinterpretasikan bahwa variabel konstruk Kinerja Industri dapat dijelaskan oleh variabel konstruk Iklim Usaha sebesar  6% (mendekati moderat arah kuat). Sedangkan sisanya 50.4% dijelaskan oleh variabel lain diluar yang diteliti. Dibandingkan jika nilai implikasi Kebijakan langsung terhadap Kinerja Industri (43.31%). Iklim Usaha dan Kinerja Industri diketahui pula bahwa Kebijakan PBJP tidak memberi pengaruh yang besar (-3.83%) kepada Iklim Usaha dibandingkan Kebijakan Sektor Konstruksi yang memberi pengaruh 37.10%. Tetapi, jika dilihat implikasi Kebijakan langsung  terhadap Kinerja Industri, maka Kebijakan Kontrak Konstruksi yang memberi pengaruh terbesar.
  3. Faktor-faktor pembentuk iklim usaha, yaitu: persyaratan usaha, biaya transaksi ekonomi, kepastian hukum, akses sumber daya termasuk permodalan dan standarisasi pemeriksaan hasil pekerjaan akan memberikan rasa kemudahan, kepastian, kenyamanan usaha di sektor konstruksi (Iklim Usaha). Iklim usaha tersebut akan berimplikasi pada terjadinya penjaminan mutu atas proyek konstruksi sebagai indikator yang paling dominan sebesar 0.9135, berikut diikuti oleh indikator ketepatan waktu, penjaminan keselamatan pekerja, publik, harta benda dan lingkungan dan ketepatan biaya.
  4. Pada Output Path Coeffisient seperti nampak pada tabel di bawah ini adalah melihat signifikansi pengaruh masing – masing variabel Iklim Usaha dan Kinerja PPK dengan melihat nilai koefisien paramater (original sample). Besarnya koefisien parameter untuk variabel Iklim Usaha sebesar (original sample) 0.7044 yang berarti terdapat pengaruh positif antara Iklim Usaha  terhadap Kinerja Industri. Atau dapat diinterpretasikan bahwa semakin baik Iklim Usaha maka Kinerja Industri akan semakin meningkat.
  5. Dari hasil analisis komparatif untuk mengukur keseragaman jawaban berdasar asal provinsi dan afiliasi responden, didapat bahwa untuk asal provinsi, responden tidak memberi jawaban yang berbeda sehingga dengan melihat kota yang miliki nilai variansi yang besar diketahui bahwa itu menunjukkan responden di provinsi tersebut beranggapan jika Iklim usaha tidak terlalu baik sehingga itu mempengaruhi kinerja mereka. Adapun provinsi dimaksud adalah Lampung, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Kinerja yang kurang maksimal dimaksud terkait penyelesaian kasus hukum, penyelesaian tuntutan/protes masyarakat dan penyelesaian kasus hukum lain terkait kontrak. Sementara untuk afiliasi responden, di dapat bahwa subkontraktor memiliki persepsi jika Iklim usaha tidak terlalu baik sehingga itu mempengaruhi kinerja mereka. Kinerja yang kurang maksimal dimaksud terkait penyelesaian kasus hukum, penyelesaian tuntutan/protes masyarakat dan penyelesaian kasus hukum lain terkait kontrak.
  6. Pengembangan iklim usaha diperlukan untuk meningkatkan kinerja industri konstruksi dalam menyediakan infrastruktur yang berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan. Pengembangan iklim usaha dilakukan melalui pemutakhiran kebijakan seperti menata ulang struktur pasar (jenis, lingkup dan besaran) dan struktur usaha (firm size, concentration, product differention); Memperbesar pangsa pasar konstruksi nasional dan global dengan terbukanya lapangan usaha baru di dalam negeri maupun luar negeri melalui dukungan Pemerintah; Memperkenalkan sistem manajemen rantai pasok terintegrasi berbasis koopetisi (kooperasi dan kompetisi) untuk menjamin peningkatan nilai tambah dari penyelenggaraan konstruksi dan model persaingan di industri konstruksi didorong berbasis kekuatan rantai pasok; dan Mengembangkan kebijakan keberpihakan (affirmative policy) terhadap kontraktor kecil di daerah, agar berkembang menjadi kontraktor spesialis yang memiliki kapasitas permodalan, kompetensi SDM dan kapabilitas teknologi; serta Menata ulang kerangka hukum dan tata kelembagaan serta instrumen kebijakan untuk sertifikasi badan usaha, sertifikasi profesi dan keterampilan, akses pasar (entry barrier) serta sistem transaksi dan perikatan.

E. IMPLIKASI KINERJA INDUSTRI KONSTRUKSI TERHADAP VALUE FOR MONEY INFRASTRUKTUR

  1. Analisis implikasi kinerja industri konstruksi terhadap value for money menunjukan bahwa kecelakaan kerja memiliki implikasi paling tinggi (0,863) terhadap pencapaian nilai manfaat infrastruktur. Sedangkan pembengkakan biaya dalam penyelengaraan proyek memiliki nilai implikasi (0,833), kegagalan mutu dalam penyelengaraan proyek (0,837) dan keterlambatan dalam penyelengaraan proyek (0,810). Permasalahan ketenagakerjaan  dalam penyelengaraan proyek memiliki implikasi paling tinggi (0,900) terhadap value for money infrastruktur, kemudian permasalahan ketenagakerjaan lainnya dalam penyelengaraan proyek (0,898). Sedangkan intensitas klaim dan sengketa dalam penyelenggaraan proyek (0,828), intensitas kasus hukum dalam penyelengaraan proyek (0,868), permasalahan pengadaan material, peralatan dan teknologi (0,889) dalam penyelengaraan proyek, permasalahan kecelakaan (0,889) dalam penyelengaraan proyek lebih kecil nilai implikasinya.
  2. Analisis implikasi terhadap biaya operasi dan pemeliharaan infrastruktur menghasilkan bahwa pembengkakan biaya (cost over run) memiliki implikasi paling tinggi (0,900) terhadap pencapaian nilai manfaat infrastruktur. Sedangkan keterlambatan dalam penyelengaraan proyek (0,878) intensitas kecelakaan dalam penyelenggaraan proyek (0,880). Intensitas klaim dan sengketa (0,874), dan intensitas kasus hukum (0,874). Dari hasil analisis tersebut, implikasi kinerja industri konstruksi sesungguhnya relatih sedang terhadap pencapaian nilai manfaat infrastruktur. Berdasarkan analisis struktur parsial hubungan antara kinerja industri konstruksi dan value for money infrastruktur menunjukkan bahwa implikasi kinerja industri konstruksi lebih tinggi nilainya (0,765) terhadap biaya operasi dan pemeliharaan dibanding dengan terhadap value for money (0,764).
  3. Berdasarkan hasil analisis di atas menjelaskan bahwa nilai value for money rendah yang ditunjukan pada elemen performa atau kinerja pada proyek konstruksi yaitu tingkat keterlambatan, gagal mutu dan pembengkakan biaya berimplikasi tinggi terhadap biaya operasi dan maintenance. Hal ini dapat dianalisis pada sektor iklim usaha yang berimplikasi terhadap hal tersebut bahwa persyaratan usaha, biaya transaksi ekonomi, kepastian hukum, akses sumber daya termasuk permodalan, standarisasi pemeriksaan hasil merupakan Iklim Usaha yang harus ditingkatkan seandainya ingin tercapai kinerja konstruksi yang diharapkan untuk meningkatkan value for money. Kecelakaan konstruksi dan kegagalan mutu menunjukkan indikator yang paling besar berturut-turut 0,863 dan 0,837. Oleh karena itu, jika terjadi kecelakaan konstruksi dapat menunjukkan bahwa kinerja penyelenggaraan konstruksi adalah buruk. Sedangkan kasus hukum dalam penyelenggaraan konstruksi menjadi indikator dari implikasi yang paling tinggi (0.900) terhadap biaya operasi dan pemeliharaan infrastruktur. Selanjutnya, permasalahan ketenagakerjaan memiliki implikasi terhadap value for money infrastruktur paling tinggi (0.900).
  4. Prinsip pengadaan pemerintah adalah mendapatkan nila tambah dari pembangunan infrastruktur. Implikasi kinerja industri konstruksi terhadap value for money infrastruktur tinggi. Keterlambatan, gagal mutu, kecelakaan konstruksi, pembengkakan biaya serta kriminalisasi / kasus hukum termasuk sengketa memiliki implikasi terhadap nilai uang dari pembangunan infrastruktur. Kajian LKPP (2016) menunjukkan bahwa implikasi iklim usaha konstruksi terhadap value for money dijelaskan dari setiap indikator yang membentuk kinerja yaitu keterlambatan (5,69), pembengkakan biaya (5,48), kegagalan mutu (5,61) dan kecelakaan (5,00) . yang artinya bahwa dari hasil analisa tersebut indikator atau elemen yang menjadi tinjauan utama dalam memperbaiki kelembagaan yaitu masalah keterlambatan dalam penyelenggaraan proyek.hasil analisa pada setiap indikator juga menjelaskan bahwa modus dari setiap elemen pertanyaan yaitu keterlambatan (7), pembengkakan biaya (6), kegagalan mutu (7) dan kecelakaan (6) yang artinya bahwa tingkat implikasi dari masing-masing elemen berdasarkan nilai keterkaitan memiliki nilai implikasi yang Tinggi.
  5. Kajian LKPP (2016) juga menghasilkan gambaran bahwa relasi kinerja penyelenggaraan konstruksi terhadap nilai manfaat dijelaskan dari hasi hasil analisis yaitu permasalahan pengadaan material peralatan dan teknologi mempunyai nilai Mean yang paing tinggi sebesar 5,74 dan diikuti oleh permaslaahan ketenagakerjaan (5,44), permasalahan kecelakaan (5,74), intensitas kasus hukum (4,74) dan intensitas klaim dan sengketa (4,58). Kemudian hasil analisis berupa modus dilakukan untuk mengetahui keterkaitan/implikasi dari variabel dependent dan variabel independent yang dalam kasus ini diwakili oleh kinerja dan nilai manfaat. Adapun hasil yang diperoleh yaitu untuk indikator intensitas kasus hukum, permasalahan pengadaan, peralatan dan permasalahan ketengakerjaan memiliki implikasi yang tinggi (7) dan indikator permasalahan kecelakaan, intensitas klaim dan sengketa memiliki implikasi yang cukup tinggi (6) terhadap nilai manfaat infrastruktur.
  6. Keterlambatan sebagai input dari keberhasilan suatu kinerja proyek konstruksi memiliki nilai mean paling tinggi (5,56) yang merupakan faktor yang paling dominan dalam suatu kinerja penyelenggaraan konstruksi yang berimplikasi terhadap biaya operasi dan maintanace. Untuk indikator selanjutnya yaitu intensitas gagal mutu (5,44), pembengkakan biaya (5,24) kecelakaan (4,95), kasus hukum (4,71) dan klaim dan sengketa (4,70). Hasil analisa modus untuk mengetahui nilai implikasi nya antar variabel dependent dan independent yang diwakili oleh kinerja penyelenggaraan proyek dan biaya operasi dan maintanance yaitu yang merupakan faktor paling berimplikasi terhadap biaya OM adalah intensitas keterlambatan, intensitas gagal mutu dan pembengkakan biaya dengan nilai keterkaitan sebesar 7 sedangkan intensitas klaim dan kasus hukum memiliki nilai keteraitan cukup tinggi (6) dan elemen kecelakaan kerja mendapatkan nilai keterkaitan sebesar 5 yang artinya cukup sedang.
  7. Keterlambatan dalam konstruksi menjadi masalah yang paling awam dalam penyelesaian suatu proyek konstruksi, dan ketika mulai membicarakan masalah keterlambatan/ delay kita tidak dapat menunjuk satu komponen/ variabel yang di sebut kambing hitamnya, more than it.dalam keterlambatan/ delay di dalam proyek konstruksi ada banyak faktor yang dapat mengakibatkannya, namun di bawah ini dari berbagai macam faktor researcher dan dari pengalaman lapangan maka berikut adalah list yang dapat mengakibatkan keterlambatan dalam suatu proyek. Ada 3 hal yang sangat mempengaruhi proyek konstruksi, tenaga kerja, material dan tools, ketiganya saling mengikat dalam satu segitiga yang berkaitan satu dengan yang lainnya, in case untuk problem labour supply menjadi variabel paling berpengaruh dalam penyelesaian konstruksi. tenaga kerja menjadi pion paling depan dalam menyelesaikan proyek konstruksi, dengan tatanan skill labour dan good supervisi maka target target dan productivity dalam suatu proyek akan bisa sangat terjaga sekali. Material material material, memang menjadi komponen yang penting dalam konstruksi adanya tenaga kerja namun tidak didukung material ataupun consumable maka proyek konstruksi tidak akan bisa diselesaikan dengan baik. dengan penjagaan (expedite) terhadap pengiriman dan pengadaaan material dan ETA (estimate Time Arrival) yang tepat maka dapat menjaga progress konstruksi bisa berjalan dengan sangat baik. Bagi Main Kontraktor atau kontraktor utama, sub kontraktor adalah mitra sejalan dalam penyelesaian tujuan yaitu penyelesaian pekerjaan konstruksi yang tepat guna, tepat kualitas dan tepat harga dan tentu penjagaan terhadap masalah safety dan kenyamanan bekerja. dengan demikian sedikit banyakya sub kontraktor berpengaruh pada percepatan dalam penyelesaian proyek konstruksi, subkontraktor yang baik akan sangat membantu dalam progress dan productivity, namun dilain pihak sub kontraktor yang memiliki banyak problem akan menambah masalah baru. notesnya: pilh sub yang sudah berpengalaman dan memiliki good record sebelumnya. Proyek dapat diselesaikan dengan faktor variabel waktu yang bertahap, sesuai dengan method dan perturan standar yang berlaku, dengan perhitungan project time yang tepat ketika diajukan ke owner maka sangat membantu untuk penyelesaian project dengan tepat waktu, namun apabila dari awal proyek sudah ada variabel waktu yang unrealistic maka sebaiknya dilakukan pembicaraan dan pertemuan dengan owner sehingga kedepannya bisa dimungkinkan adanya ekstra time untuk penyelesaian proyek.

F. OPSI REFORMASI KEBIJAKAN TERKAIT PENGADAAN PEMERINTAH

  1. Berdasarkan analisis data implikasi, korelasi dan struktru parsial dan integral dari kebijakan terkait pengadaan terhadap iklim usaha di sektor konstruksi, Pemerintah perlu mempertegas larangan kepada panitia pengadaan agat tidak menambah persyaratan dan ketentuan dokumen kualifikasi untuk mengatasi terjadinya kegagalan tender proyek. Pemerintah juga perlu mengubah persyaratan dan ketentuan dalam regulasi usaha di sektor konstruksi, misalnya SKA, SKT, PJBU, PJT, TKDN, dan Pajak untuk mengurangi pembengkakan biaya overhead atau biaya administrasi dalam penyelenggaraan proyek konstruksi.
  2. Pemutakhiran kebijakan dalam regulasi usaha di sektor konstruksi, misalya tentang standarisasi penerbitan SBU, IUJK, Persyaratan Klasifikasi dan Kualifikasi, ISO, OHSAS/ SMK3, SKA, SKT, PJBU, PJT, TKDN, juga perlu dilakukan oleh Pemerintah sedemikian rupa sehingga dapat secara signifikan mengurangi biaya transaksi ekonomi dan meningkatkan kepastian hukum.
  3. Pemutakhiran persyaratan umum kontrak juga perlu dimutakhirkan, misalnya standarisasi perhitungan harga satuan, standarisasi kontrak lumpsum, pembayaran uang muka, pembayaran prestasi pekerjaan, perhitungan akhir, penangguhan pembayaran, penyesuaian  harga, penyerahan lapangan, penerbitan SPMK, program mutu, rencana pelaksanaan pekerjaan, pemeriksanaan bersama, penanggungan dan resiko, perlindungan tenaga kerja, pemeliharaan lingkungan, asuransi, permintaan persetujuan PPK, denda, klaim, penjaminan, penyelesaian sengketa, pengukuran volume hasil pekerjaan, pemeriksaan inspektorat, pemeriksanaan BPKP, pemeriksaan BPK, amandemen, addendum, review design, keadaaan kahar.
  4. Pemutakhiran kebijakan terkait regulasi rantai pasok konstruksi seperti standar material bahan baku, material dan peralatan impor sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dalam menggunakan bahan baku dan bahan pabrikan baik dari dalam negeri dan khususnya dari luar negeri. Kebijakan tentang penggunaan standar nasional (SNI) bagi material dan komponen bangunan sangat diperlukan.
  5. Pemerintah melalui LKPP dan Kementerian / Lembaga terkait sektor konstruksi mengambil kebijakan pengembangan iklim usaha melalui pemutakhiran kebijakan terkait pengadaan. Regulasi baik dalam pengadaan pekerjaan konstruksi maupun regulasi usaha di sektor konstruksi perlu disederhanakan agar tidak menimbulkan beban administratif dan biaya transaksi ekonomi yang membebani. Disamping itu, ketentuan dan persyaratan perlu dipertegas dan diperjelas agar tidak multi tafsir antara para pihak yang berkepentingan.
  6. Opsi kebijakan lainnya adalah regulasi untuk mempercepat proses tender atau lelang dini dan juga menggunakan model penyelenggaraan proyek selain yang konvensional (DBB), seperti DB, Turnkey, CMAR dan integrated project delivery systems. Selama ini proses tender selalu terlambat sehingga masa pelaksanaan menjadi lebih pendek sehingga mempengaruhi mutu konstruksi yang dihasilkan, regulasi pengadaan yang jelas dan seragam untuk diperlakukan kepada setiap Pokja ULP agar tidak bisa digunakan mengarahkan untuk memenangkan pihak tertentu, regulasi yang menjamin Pokja ULP Transparan dalam melakukan evaluasi, penegakan regulasi agar Pokja ULP tidak dapat di Interverensi, aturan yang jelas dalam menentukan HPS yang responsif memenuhi kebutuhan standar mutu konstruksi, ketentuan penyediaan personil yang sangat memberatkan kontraktor (jumlah, kualifikasi dan klasifikasi TA terlalu berlebihan sedangkan nilai proyek kecil, ketentuan yang mempersyaratkan pengumuman pengadaan jangan hanya mengumumkan pengadaan kualifikasi kecil dan non kecil, tetapi lebih jelas untuk kualifikasi K1, K2, K3 dan M1, M2.
  7. Opsi kebijakan lainnya adalah regulasi untuk meningkatkan dukungan Bank dalam pelaksanaan konstruksi oleh kontraktor, regulasi yang mendorong pembentukan kontraktor kecil daerah menjadi kontraktor spesialis, pengaturan sub bidang di SBU badan usaha lebih disederhanakan karena sekarang terlalu banyak sub bidang, regulasi persyaratan dalam memenuhi SKA, regulasi mengedepankan perusahaan daerah dapat lebih bersaing dengan BUMN, perlindungan perusahaan dari aksi penegakan hukum yang berlebihan, memperjelas ketentuan tarif barang dan jasa perlu diperjelas terutama tenaga ahli, perijinan regulasi yang menyederhanakan perijinan, aturan yang lebih jelas dan tegas tentang sub kontraktor antara penyedia golongan kecil dengan golongan menengah dan golongan besar sehingga bisa terciptanya pemerataan pekerjaan,
  8. LKPP dan Kementerian PUPR sebagai pembina sektor konstruksi perlu benar-benar berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan kontrak agar perusahaan di sektor konstruksi tidak kesulitan dalam menghadapi kasus hukum, penghargaan bagi kontraktor yang berprestasi baik untuk mendapatkan pekerjaan selanjutnya, memperjelas standar metoda pelaksanaan konstruksi yang sesuai, menghilangkan ketentuan subkontraktor harus membayar pph, regulasi renumerasi tenaga ahli masuk dalam RAB pekerjaan konstruksi, karena selama ini perhitungan RAB hanya analisis harga satuan dan renumerasi tenaga terampil saja.
  9. Pengembangan iklim usaha diperlukan untuk meningkatkan kinerja industri konstruksi dalam menyediakan infrastruktur yang berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan. Pengembangan iklim usaha dilakukan melalui pemutakhiran kebijakan seperti menata ulang struktur pasar (jenis, lingkup dan besaran) dan struktur usaha (firm size, concentration, product differention); Memperbesar pangsa pasar konstruksi nasional dan global dengan terbukanya lapangan usaha baru di dalam negeri maupun luar negeri melalui dukungan Pemerintah; Memperkenalkan sistem manajemen rantai pasok terintegrasi berbasis koopetisi (kooperasi dan kompetisi) untuk menjamin peningkatan nilai tambah dari penyelenggaraan konstruksi dan model persaingan di industri konstruksi didorong berbasis kekuatan rantai pasok; dan Mengembangkan kebijakan keberpihakan (affirmative policy) terhadap kontraktor kecil di daerah, agar berkembang menjadi kontraktor spesialis yang memiliki kapasitas permodalan, kompetensi SDM dan kapabilitas teknologi; serta Menata ulang kerangka hukum dan tata kelembagaan serta instrumen kebijakan untuk sertifikasi badan usaha, sertifikasi profesi dan keterampilan, akses pasar (entry barrier) serta sistem transaksi dan perikatan.
  10. LKPP dan KemenPUPR untuk membuat kesepakatan bersama terkait penetapan persyaratan dan ketentuan kualifikasi tender. Selanjutnya, Pemerintah melalui kerjasama LKPP, Kementerian PUPR, Kemenperindag, Kemendagri, Kemenkeu, BKPM, Pemda, merancang pemutakhiran kebijakan terkait persyaratan usaha, tender, kontrak dan regulasi lainnya agar lebih efektif, effisien transparan dan akuntabilitas: dengan mengoptimalkan PTSP untuk menjadi ‘supermarket’ perizinan dengan system terpadu antar K/L; tiap dokumen memiliki QR code sehingga bisa “terbaca” kapan dan dimana saja (pakai aplikasi pembaca QR code mobille); menjadikan data di PTSP sebagai link data source dalam PBJP.
  11. LKPP perlu memonitor secara berkesinambungan implementasi kebijakan terkait pengadaan pemerintah. Sebuah proyek yang terkontaminasi oleh adanya intervensi politik memiliki kecenderungan akan terjadinya kasus korupsi. Perlu pendampingan dari KPK dan BPK sejak awal tahapan proyek. E-procurement dapat meminimalisir terjadinya intervensi atau bahkan penyalahgunaan. yang harus dipersiapkan adalah kesiapan server, system yang meringankan pengguna (contoh file size to upload kecil), tetap ada pendampingan pelayanan customer care untuk Q&A.
  12. Kementerian PUPR sebagai pembina konstruksi nasional perlu memperkuat pengawasan implementasi kebijakan dalam penyelenggaraan konstruksi berbasis monitoring dan evaluasi berkesinambungan. Kebijakan ini ditindak-lanjuti dengan mengembangkan dan menerapkan code of conduct dan code of ethic baik di sisi penyelenggara (owner, client, project manager), di sisi pelaku usaha (konsultan, kontraktor, pemasok dan vendor) maupun di sisi regulator, pada berbagai tataran (proyek, perusahaan, industri, pemerintahan).
  13. Kementerian PUPR bersama kementerian teknis terkait lainnya seperti Kementerian Perdagangan juga BPS perlu mengubah struktur usaha berbasis ASMET menjadi KBLI tetapi dengan penyederhanaan, kemudian mendefinisikan ulang generalis dan spesialis, dan menata ulang sistem kualifikasi usaha, menjadi berbasis kapital, kompetensi SDM (kapabilitas manajemen dan teknologi) serta pengalaman (track record), Mengembangkan pengadaan berbasis rantai pasok dan penerapan variasi sistem penyelenggaraan proyek (project delivery systems) (DB, EPC, dan PBC sebagai alternatif dari DBB konvensional), dan merancang ulang segmentasi pasar, memperluas porsi dan lingkup subcontracting (untuk usaha kecil), serta menetapkan standard form of subcontract dan membuat pengaturan jaminan pembayaran (payment security acts).
  14. Kementerian PUPR sebagai pembina konstruksi bersama Kementerin Perindustrian perlu memberi insentif dan disinsentif untuk mendukung pengelolaan rantai pasok oleh kontraktor besar dan menengah serta melarang vertical integration oleh kontraktor besar khususnya dimulai dari kontraktor BUMN. Mengharuskan kontraktor besar nasional dan asing melakukan pemberdayaan kepada kontraktor di daerah, baik melalui joint operasi maupun subkontrak atau dengan mengintegrasikan mereka dalam rantai pasoknya sebagai tindakan memihak (affirmative action), Mengembangkan sistem inkubator usaha konstruksi untuk meningkatkan kapasitas kontraktor kecil/menengah, khususnya di daerah yang tertinggal, dengan memperluas akses dukungan permodalan dan penjaminan, pengembangan kompetensi SDM dan kapabilitas manajemen dan penguasaan teknologi.
  15. Paralel dengan terbitnya undang-undang pengganti UU 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, Kementerian PUPR perlu mengevaluasi kembali dan memutakhirkan seluruh peraturan perundangan khususnya pengaturan bisnis / usaha di sektor konstruksi, pengaturan praktek profesi keinsinyuran dan kearsitekturan, serta pengaturan sistem kelembagaan dan pembiayaan pengembangan industri konstruksi, termasuk sistem pembiayaan melalui levy, dan kemudian Menata ulang kebijakan pengaturan untuk mencegah terjadinya pengaturan yang berlebihan (overly regulated), perangkap regulasi (regulation trap) yang mempersulit atau menghambat efisiensi penyelenggaraan konstruksi dan pengembangan industri konstruksi nasional), serta konflik kepentingan antar para pemangku kepentingan industri konstruksi (penyelenggara seperti investor, owner dan developer, pelaku usaha, regulator industri, masyarakat pemanfaat dsb.
  16. Kementerian PUPR, LKPP, Kementerian BUMN, Kementerian Kooperasi dan UMKM secara sinergis perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap substansi dan implementasi peraturan perundangan terkait industri konstruksi (tidak hanya undang-undang tentang jasa konstruksi). Tujuan rencana aksi ini adalah menemukenali perangkap regulasi (regulation trap) dan pengaturan sistem industri konstruksi yang berlebihan (over regulated construction industry system) yang menyulitkan atau menghambat industri konstruksi nasional dan kemudian menindaklanjuti dengan penyempurnaan peraturan perundangan tersebut.
  17. Kementerian PUPR sebagai pembina konstruksi dan LPJK perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai perangkat kebijakan (policy instruments) bagi industri konstruksi (sertifikasi, registrasi, lisensi, klasifikasi, kualifikasi, spesialisasi, segmentasi pasar, SKKNI, sistem transaksi dan perikatan, sistem subleting/subcontracting/kemitraan, penjaminan pembayaran (payment security), sistem penjaminan mutu, sistem keselamatan konstruksi, persyaratan akses pasar (market entry), sistem prakualifikasi, sistem informasi konstruksi, rantai suplai konstruksi dan lain-lain). Tujuan rencana aksi ini adalah menemukenali praktek kebijakan yang menyebabkan transaction cost of economy tinggi bagi industri konstruksi.
  18. Kementerian PUPR dan Kementerian Perindustrian bersama-sama melakukan inisiatif penataan ulang seluruh instrument kebijakan tersebut di atas agar responsif terhadap keberhasilan restrukturisasi industri konstruksi, termasuk menetapkan kebijakan baru untuk mengurangi/mengeliminasi berbagai hambatan industrialisasi konstruksi. Tujuan rencana aksi ini adalah memperbaiki sistem sektor konstruksi baik dari sisi permintaan (demand/ market/customer) atau penataan pengusahaan atau tataniaga konstruksi seperti penataan lapangan usaha (playing field/ market structure & conduct) dalam bentuk market information, market entry, transaction system dan quality assurance (process & product) maupun dari sisi penawaran (supply/ industri/pelaku usaha) atau penataan usaha atau industri konstruksi (kapital, SDM, teknologi dan model usaha).
  19. Kementerian PUPR perlu melakukan pemberdayaan (empowering)/pendampingan (supporting)/ pendukungan (supporting)/pembiayaan (financing)/penasehatan (advisory) sebagai bentuk fasilitasi dan proteksi (perlindungan) bagi seluruh pelaku usaha di sektor konstruksi, termasuk lembaga-lembaga di dalamnya melalui komitmen dan leadership untuk percepatan dan perluasan koordinasi, kolaborasi dan konsolidasi untuk, sinkronisasi peraturan perundangan dan kebijakan, penegakan “good governance” sebagai prasyarat pengembangan industri konstruksi khususnya untuk eliminasi / reduksi / penghindaran distorsi pasar konstruksi baik yang diciptakan oleh pengadaan pemerintah, pengadaan swasta maupun pengadaan pemerintah & swasta. Tujuan dari rencana aksi ini adalah menfasilitasi para pemangku kepentingan (stakeholders) dan pemangku usaha (shareholders) di sektor konstruksi memiliki kemauan, ketahuan, dan kemampuan secara bersama-sama berbasis prasangka baik (trust), kovergensi upaya (sinergy) dan saling menerima dan memberi (reciprocity) dalam melakukan transformasi struktur, perilaku dan kinjera industri konstruksi nasional sehingga semakin kokoh, semakin andal dan semakin berdayasaing,
  20. Kementerian PUPR perlu membentuk Tim Koordinasi Nasional Pengembangan Industri Konstruksi untuk melaksanakan rencana aksi tersebut di atas secara efisien, efektif dan kreatif-inovatif. Tujuan rencana aksi ini adalah memperkuat posisi pemerintah dalam menindaklanjuti rekomendasi rencana aksi tersebut pada butir (a, b, c dan d). Disamping itu, kelompok kerja ini dapat diberi tugas, tanggungjawab dan kewenangan melalukan pengarus utamaan (mainstreaming) bahwa konstruksi merupakan salah satu sektor perekonomian nasional atau konstruksi harus dipandang sebagai industri (Suraji, 2007; Soeparto, 2009; KK MRK ITB, 2009) yang memiliki nilai tambah bagi kesejahteraan, kedaulatan dan keadaban bangsa sedemikian rupa sehingga mendapat tempat dalam perencanaan pembangunan nasional (RPJMN III) 2015 – 2019. Pelajaran dari benchmarking construction 2011 di Singapore (Tamin, 2011), Hong Kong dan India (Suraji, 2011) menunjukkan bahwa pengembangan industri konstruksi menjadi salah satu urusan penting negara.
  21. Kementerian PUPR perlu mengembangkan konsepsi baru, klasifikasi baru, kualifikasi baru dan proporsionalisasi jumlah kontraktor umum (general contractor) dan kontraktor spesialis (specialty contractors) sebagai salah satu pelaku usaha pembentuk struktur industri konstruksi yang baru. Tujuan dari rencana aksi ini adalah menghasilkan rumusan yang tepat dari bentuk/ struktur industri konstruksi. Selanjutnya, Kementerian PUPR bersama LKPP perlu mengembangan bentuk standar subkontrak (standard form of subcontract) dan jaminan pembayaran (payment security) sebagai acuan dalam pengembangan subleting/ subcontracting / kemitraan. Tujuan rencana aksi ini adalah menghasilkan standarisasi bentuk kontrak antara kontraktor utama (general contractor) dan subkontraktor (specialty contractor) dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi. Disamping itu, kementerian ini juga perlu mengembangkan dan menegakkan code of conduct dan code of ethic pelaku usaha konstruksi. Tujuan dari rencana aksi ini adalah mewujudkan penerapan good governance di industri konstruksi nasional.
  22. Kementerian PUPR sebagai permbina konstruksi nasional perlu mengembangkan sistem reward dan punishment atas kinerja pelaku usaha konstruksi. Tujuan rencana aksi ini adalah memberikan penghargaan bagi pelaku usaha konstruksi yang memiliki kinerja terkait pertumbuhan pangsa pasar, kinerja terkait kesehatan manajemen usaha, kinerja terkait dengan implementasi manajemen proyek konstruksi, kinerja terkait dengan pencapaian catatan keselamatan konstruksi, dan lain-lain. Disamping itu, kementerian ini juga perlu mengembangkan konsep penerapan integrasi manajemen rantai pasok (supply chain management integration) sebagai model usaha di industri konstruksi. Tujuan rencana aksi ini adalah memperkenalkan sistem pengintegrasian dari rantai pasok konstruksi sebagai model usaha dalam penyelenggaraan konstruksi.
  23. LKPP perlu mengubah kebijakan terkait pengadaan dengan mendorong penerapan konvensional project delivery system yang terfragmentasi menjadi terintegrasi (DB, Turnkey, Aliansi, CMAR, EPC) agar kinerja industri konstruksi semakin tinggi dan kemudian dapat menghasilkan nilai manfaat yang besar dari infrastruktur yang disediakan secara efektifitas biaya.
  24. Di samping itu, Kementerian PUPR sebagai pembina konstruksi nasional perlu melakukan tindak afirmatif untuk meningkatkan kinerja industri konstruksi, misalnya: a. Mengembangkan, memutakhirkan, memajukan dan menfasilitasi penerapan sistem pengkajian kelayakan ekonomi, kelayakan lingkungan, kelayakan finansial, kelayakan teknis, kelayakan keberlanjutan (sustainability) berbagai penyelenggaraan konstruksi. Mengembangkan, memutakhirkan, memajukan  dan menfasiltiasi penerapan sistem dan teknologi mutakhir untuk perencanaan program pembangunan, perencanaan masterplan, perencanaan teknis dari penyelenggaraan konstruksi,
  25. Kementerian PUPR perlu mengembangkan, memutakhirkan, memajukan dan menfasiliasi penerapan sistem dan teknologi mutakhir misalnya Building Information Modelling (BIM), Sustainable Design & Contruction, Constructability, Operatibility, Maintenability, inovasi sistem rancang bangun dan perekayasaan rekayasa konstruksi seperti jembatan panjang, sistem rekayasa terowongan, sistem rekayasa gedung tinggi, sistem rekayasa bendung / bendungan, sistem rekayasa pembangkitan dll suatu penyelenggaraan konstruksi,
  26. LKPP perlu mengembangkan, memutakhirkan, memajukan dan menfasilitasi penerapan process protocol systems, building & infrastructure procurement systems, sistem/metoda penyelenggaraan proyek & standarisai kontrak, seperti DB, EPC, Turnkey, PBC, Aliansi, green tendering, inovasi sistem kualifikasi dan tender serta kontrak jasa konsultansi, sistem kualifikasi, tender, dan kontrak pekerjaan konstruksi, sistem penyelesaian sengketa alternatif,
  27. Kementerian PUPR sebagai pembina konstruksi nasional perlu mengembangkan, memutakhirkan, memajukan dan menfasilitasi penerapan norma, pendoman, standar dan kriteria dan aplikasi teknologi informasi dalam manajemen proyek untuk efisiensi dan efektifitas penyelenggara konstruksi, seperti sistem manajemen mutu, sistem manajemen resiko, sistem manajemen pengadaan, sistem manajemen sumber daya, sistem manajemen integrasi, sistem manajemen finansial, sistem manajemen lingkungan, sistem manajemen komunikasi / informasi, sistem manajemen keselamatan konstruksi secara terpadu,
  28. Kementerian PUPR sebagai pembina konstruksi nasional perlu mengembangkan, memutakhirkan, memajukan dan menfasilitasi penerapan norma, pendoman, standar dan kriteria dan aplikasi teknologi informasi dari sistem manajemen aset terbangun (built environment), seperti sistem inventori aset; sistem akuntansi aset, sistem informasi aset, sistem penilaian kinerja aset, sistem monitoring & evaluasi aset,

G. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

  1. Kebijakan terkait pengadaan pemerintah memiliki implikasi sedang sampai tinggi terhadap iklim usaha. Iklim usaha akan mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan konstruksi dan nilai tambah (value for money) infrastruktur. Iklim usaha di sektor konstruksi masih buruk dan akibatnya kinerja industri konstruksi rendah. Pengembangan iklim usaha memerlukan pemutakhiran kebijakan terkait pengadaan. Pemutakhiran persyaratan usaha, persyaratan tender, kepastian biaya transaksi ekonomi, kepastian hukum, ketiadaan intervensi politik, akses sumber daya teknologi, material dan peralatan, tenaga kerja termasuk permodalan, standarisasi pemeriksaan hasil pekerjaan membentuk iklim usaha. Pemerintah melalui kerjasama LKPP dan Kementerian PUPR perlu merancang pemutakhiran regulasi pengadaan, regulasi usaha, regulasi kontrak dan regulasi lainnya agar lebih efektif mengembangkan iklim usaha bagi kinerja industri konstruksi serta tercapainya nilai uang (value for money) dalam pembangunan infrastruktur.
  2. Nilai manfaat (value for money) infrastruktur masih rendah. Infrastruktur seperti jaringan jalan sering mengalami kerusakan lebih cepat dari pada umur layanannya. Industri konstruksi juga masih sering mengalami problematika kinerjanya seperti delay, cost overrun, accidents and quality defect, termasuk kriminalisasi. Keterlambatan proyek berdampak paling tinggi terhadap value for money infrastruktur. Pemerintah perlu meningkatkan kinerja industri konstruksi melalui opsi kebijakan peningkatan kapasitas dan kapabilitas dari industri konstruksi meliputi human capital, technology capital, financial capital, and intelektual capital.
  3. Terbitnya undang-undang pengganti UU 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi perlu dijadikan momentum untuk memutakhirkan kebijakan terkait pengadaan, khususnya kebijakan usaha di sektor konstruksi yang meliputi klasifikasi dan kualifikasi usaha, registrasi dan lisensi usaha, persyaratan usaha, dan sistem transaksi dan perikatan serta tata kelola kontrak konstruksi. Pemerintah dalam rangka menerbitkan peraturan pemerintah perlu mempertimbangkan implikasi kebijakan terkait pengadaan terhadap iklim usaha, kinerja industri konstruksi dan nilai manfaat penyediaan infrastruktur publik.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdul Kadir. 2006. “Transportasi: Peran dan Dampaknya dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional”. Universitas Sumatra Utara
  2. Abdul Wahab, Solichin. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 2008.
  3. Akhmad Suraji (2007) Konstruksi Indonesia 2030: Transformasi Konstruksi Menuju Kenyamanan Lingkungan Terbangun, LPJK Nasional,
  4. Akhmad Suraji (eds) (2014) Arahan Kebijakan Restrukturisasi Industri Konstruksi, BP Konstruksi, Kementerian Pekerjaan Umum;
  5. Akhmad Suraji & Krishna S Pribadi, (2012) Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional Yang Kokoh, Andal Dan Berdayasaing Serta Memberikan Kesempatan Kepada Para Pelaku Usaha Tumbuh Dan Berkembang Secara Adil Melalui Restrukturisasi Sistem, (BP Konstruksi, LPJKN dan Gapensi);
  6. Anderson, James E., Public Policy-Making, 1984
  7. Anonym “Value for Money Sebagai Salah Satu Metode pengukuran Kerja”. 2011. https://sayabisamelakukansemuanyadisini.blogspot.com/
  8. Anonym, 15 April 2015. Multilateral Meeting II Prioritas Nasional : Peningkatan Iklim Investasi Dan Iklim Usah. Kementerian PPN/Bappenas
  9. 2016. “Third Global Infrastructure Investment Index 2016 – Bridging The Investment Gap”. ARCADIS
  10. Arikunto Suharsimi. 2000. “Manajemen Penelitian”. Jakarta. Rineka Cipta
  11. Bahagia, Nur. Senarai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah: SistemPengadaan Publik dan Cakupannya. “Jurnal Pengadaan LKPP.1”,
  12. Barret, P (2005) Revaluing Construction – A Global CIB Agenda, CIB Report, Publication 305, Netherland
  13. Bon, R and Crosthwaite, D (2000), The Future of International Construction, Thomas Telford, London
  14. Buletin Dwi Wulan “Konstruksi”, Aturan Pengadaan Barang/Jasa Bidang Pekerjaan Konstruksi Butuh Perlakuan Khusus, Edisi IV 2015, Ditjen Bina Konstruksi. 2015.
  15. Cut Zukhrina Oktaviani. 2015. “Hubungan Antara Kualitas Pengadaan Pekerjaan KonstruksiI Pemerintah Dengan Kualitas Infrastruktur Indonesia”. Seminar Nasional Teknik Sipil V Tahun 2015 – Universitas Muhammadiyah Surakarta
  16. Dikun, S (2011) Konsepsi Infrastruktur Berkelanjutan, Catatan Bedah Buku Konstruksi Indonesia 2011, BP Konstruksi, Jakarta
  17. Dunn, William N. Public Policy Analysis: An introduction, 1994
  18. Dye, Thomas R. Understanding Public Policy 4th Editon, 1981.
  19. Easton, David. The Political System, New York, Alfred A. Knopf, 1953.
  20. Effendi, Sofian. Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik, 2001.
  21. Ganesan (1999), Employment, Technology and Construction Development, Ashgate, UK
  22. Ghozali, Imam, 2013. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Yogyakarta: Badan Penerbit BPFE.
  23. Hair, J.F./ Ringle, C.M./ Sarstedt, M.: PLS-SEM: Indeed a Silver Bullet, in: Journal of Marketing Theory and Practice (JMTP), Volume 19, 2011.
  24. Hillebrandt, P.M, (2000), Economic Theory and The Construction Industry, 3rd, MacMillan Publishers Ltd, UK
  25. http://www.khalidmustafa.info/2015/01/26/matriks-perbedaan-perpres-no-4-tahun-2015-dengan-perpres-54-tahun-2010.php
  26. Ibnu Hadjar. 1996. “Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kwantitatif dalam Pendidikan”. Jakarta: RajaGrafindo Persada
  27. Imam Ghozali dan Fuad. 2008. “Structural Equation Modeling”. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
  28. Islamy, Irfan. Prinsip- prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, 2009.
  29. Bertens. “Pengantar Etika Bisnis”. Seri Filsafat Atmajaya:21-Yogyakarta:Kanisius. 2000
  30. Klaus Schawb. 2016. “The Global Competitiveness Report 2016-2017”. World Economic Forum
  31. Kuncoro, Mudrajad. Sabtu 4 Pebruari 2006. “Reformasi Iklim Investasi”. Kompas.
  32. Kurniawan, Freddy. JENIS SENGKETA YANG SERING TERJADI PADA PROYEK KONSTRUKSI DI SURABAYA. Universitas Narotama. 2015
  33. Lasswell, Harold D. and Kaplan, A. Power and Society, 1970.
  34. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional, Studi Konstruksi Nasional, 2013
  35. LKPP, “Kajian Strategi PBJP Dalam rangka Pengembangan Iklim Usaha dan Nasional”, 2011
  36. Kajian Iklim Usaha Di Sektor Konstruksi, 2015
  37. Nazir. 2005. “Metodologi Penelitian” Ghalia Indonesia, Bogor
  38. Nazir, M., Metode Penelitian, 1988
  39. Nugroho, Riant. Public Policy. Teori Kebijakan – Analisis Kebijakan – Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management dalam Kebijakan Publik sebagai The Fifth Estate – Metode Penelitian Kebijakan, 2009
  40. Ofori, G (1990), The Construction Industry, Aspects of Its Economics and Management, Singapore University Press, National University of Singapore,
  41. Ofori, George. “Challenges of construction industries in developing countries: Lessons from various countries.” 2nd International Conference on Construction in Developing Countries: Challenges Facing the Construction Industry in Developing Countries, Gaborone, November. 2000.
  42. PII (2015) Pengembangan Kapabilitas Industri Nasional dan Insinyur Indonesia dalam Mendukung Pembangunan Infrastruktur Nasional, Dokumen Pembahasan, Kantor Menko Perekonomian, Jakarta
  43. Porter, Michael. 2009. “Improving Indonesia’s Competitiveness”
  44. PT Blactickindo Aneka. 2015. “Studi Analisa Pembanding Sektor Publik Dalam Pengusahaan Infrastruktur”. DBII, DJBK, Kementerian PUPR
  45. PusBin SDI, BP Konstruksi, Kementerian PU, Makalah Arahan Kebijakan: Pengembangan Pasar Konstruksi. 2014
  46. PusBin SDI, BP Konstruksi, Kementerian PU. Ringkasan Eksekutif: Kajian Konsep Strategi Dan Kebijakan Pengembangan Pasar Konstruksi Domestik. 2013
  47. PusbinPK (2011) Laporan Kajian Konstruksi Berkelanjutan, Jakarta
  48. PusbinSDI (2014) Laporan Studi Rantai Pasok Material & Peralatan Konstruksi untuk Elevated Road Structure, Jakarta
  49. Pustra (2014) Laporan Kajian Pembangunan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan, Jakarta
  50. Sarwono, Jonathan, Mengenal PLS-SEM, http://www.jonathansarwono.info/teori_spss/PLSSEM.pdf, 2014
  51. Sekaran, Umar. Metode Penelitian Untuk Bisnis. 2000
  52. Sinambela, Prof.Dr. Lijan Poltak, MM, MPd. Metodologi Penelitian Kuantitatif. 2014
  53. Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian. 1981. “Metode Penelitian Survei”. Edisi Kedua. Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
  54. Singarimbun, Masri & Effendi, Sofyan. 1995, Metode Penelitian Survei, Edisi Revisi, PT. Pustaka LP3ES, Jakarta
  55. Soegeng D. 2005. “Manajemen Konstruksi”. Yogyakarta : Biro Penerbit KMTS FT UGM
  56. Soemarwoto, O. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, 2003
  57. Soeparto et al (2014) Pengantar Penyelenggaraan Konstruksi, Komite Litbang LPJK Nasional, Jakarta
  58. N.H. 2002. “A Strategic For Development”. World Bank. Washington DC. USA
  59. Straub, Joseph and Attner, Raymond.1994.”Introduction To Business”, California: Wardworth Publishing Company
  60. Suandi, I Wayan. Eksistensi Kebijakan Publik dan Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol.1. No.1, 2010.
  61. Suharno, Edi. Analisis Kebijakan Publik, 2008.
  62. Suraji, A (2011) Catatan Penutup Buku Konstruksi Indonesia 2011: Konsepsi, Inovasi dan Praktek Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan, BP Konstruksi, Jakarta
  63. Suraji, A (2012) Revitaliasi Industri Konstruksi, Makalah Posisi, Jakarta
  64. Suraji, A (2013) Transformasi Konstruksi Indonesia, Makalah Posisi, Jakarta
  65. Suraji, A., Parikesit, D & Mulyono, A.T (2004) Readiness Assessment of The Indonesian Construction Industry for Global Competition, Proceeding of The International Symposium on Globalisation Construction, CIB W 107, Bangkok, September
  66. Tangkilisan, Hesel Nogi. Implementasi Kebijakan Publik, 2003.
  67. Tim Peneliti Pengembangan Iklim Usaha Nasional dalam Perluasan Kesempatan Usaha Di Bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, LKPP. Makalah Seminar Iklim Usaha di Sektor Konstruksi: Temuan dan Rekomendasi.
  68. Umar, Sekaran. 2000. Metode Penelitian Untuk Bisnis. Edisi Keempat. Penerjemah: Kwan Men Yon. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
  69. Winarno, Budi. Kebijakan Publik :Teori dan Proses, 2007.

Kontributor:
Gusmelinda Rahmi, Zulheni, Akhmad Suraji, Indah Suci Pratiwi, Jochanan Setyo Adi Nugroho, Reza Alwa Affandi, Ria Ayuningrum, Cecep Hendar Supriadi, Bambang Wijananto, Vicky Hidayat Effendi, Rossy Armin, Srianto Handoko

Editor:
– Akhmad Suraji
– LEA

Jalan Tol Mandara Bali
Jalan Tol Mandara Bali
RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments