Friday, December 29, 2023
Google search engine
HomeCOVID-19|SriMulyani| Jurus Hindari Resesi & Kekuatan RI

|SriMulyani| Jurus Hindari Resesi & Kekuatan RI

Akibat terkena sengatan pandemi Covid-19 banyak negara masuk ke jurang resesi. Indonesia pun ada di ambang jurang resesi karena perekonomian yang sangat tertekan terutama pada kuartal II-2020 yang tercatat minus 5,32%.

Ini adalah catatan perekonomian Indonesia terburuk dalam 10 tahun terakhir yang selalu tumbuh positif di sekitar 5%. Untuk menghindari Indonesia masuk ke jurang resesi, maka perekonomian di kuartal III harus bisa kembali ke zona positif meskipun sulit.

*sulit = bukan berarti tidak bisa

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia masih mempunyai waktu 1,5 bulan di kuartal III ini dan semua instrumen kebijakan akan dilakukan untuk mendorong perekonomian ke arah netral atau setidaknya bisa capai 0%.

“Masih ada 1,5 bulan dan pemerintah akan gunakan semua instrumen untuk terus menjaga pemulihan atau pembalikan ekonomi ke arah positif,” ujar Sri Mulyani.

Menurutnya, meski tertekan cukup dalam, tapi perekonomian Indonesia lebih baik dari negara lainnya yang sama-sama terkena Covid-19. Di mana, perekonomian Indonesia terkontraksi masih single digit sedangkan negara lainnya double digit.

Ia mencontohkan seperti Singapura yang minus 13%, Malaysia 17% dan Thailand 12% serta yang terdalam adalah Spanyol yang minus hingga 22% di kuartal II-2020.

Sri Mulyani Bicara Jurus Hindari Resesi & Kekuatan RI

Dikutip secara langsung dari berita cnbcindonesia.com yang ditayangkan 29 August 2020 06:43, sebagai berikut:

Seperti apa kondisi ekonomi secara keseluruhan menurut Sri Mulyani? Apakah Indonesia akan masuk jurang krisis?

Simak wawancara lengkap Sri Mulyani Indrawati dalam program Squawk Box CNBC Indonesia TV bersama Erwin Suryabrata :

Apa kabar ekonomi RI di kuartal III?

Kita sedang di dalam pandemi Covid-19, seluruh negara mencoba untuk menanganinya dengan berbagai aspek kesehatan, sosial dan ekonominya. Kalau dari aspek kesehatan kita melihat banyak negara yang tadinya ditutup kemudian kembali melakukan pembukaan aktivitas di Juni, Juli dan ada juga yang mengalami second wave atau muncul lagi kasus seperti New Zealand yang sangat disiplin kemudian mengalami kasus baru dan mereka menutup lagi. Situasi ini memang yang menjadi faktor utama penentuan kegiatan sosial ekonomi dari suatu negara termasuk di Indonesia.

” Oleh karena itu di dalam kuartal III kita berharap titik balik itu mulai terlihat “. 

Sri Mulyani

Kalau kita lihat di Indonesia kuartal kedua kita hadapi tantangan karena memang begitu pandemi Covid diumumkan pada pertengahan Maret, maka langkah-langkah secara cukup drastis terutama di zona-zona merah, itu membuat perekonomian terkontraksi yang cukup dalam. Dan oleh karena itu pada kuartal kedua kemarin kita mencatatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi minus 5,3%. Nah kalau dilihat dari komposisinya, pertumbuhan negatif yang cukup dalam ada di sektor konsumsi yaitu negatif 5,6%, investasi minus 8,6% dan ekspor dan impor memang pada 2019 waktu ekonomi dunia melemah memang sudah kontraksi sepanjang tahun, jadi tahun ini mungkin masih meneruskan situasi kontraksi meskipun perkuartal bervariasi. Di kuartal kedua kemarin turun cukup dalam yaitu minus 11,7% untuk ekspor dan impor minus 17%.

Nah kalau kita lihat di kuartal III, mencoba untuk melihat kuartal ketiga itu sebagai titik balik dari kegiatan ekonomi tanpa mengorbankan apa yang disebut Covid 19 sendiri. Maka untuk bisa capai suatu titik balik memang ada beberapa aktivitas ekonomi kembali dibuka seperti banyak kantor-kantor sudah sebagian buka, separuh WFH dan separuh WFO, kemudian pusat perdagangan mall mulai dibuka. Kegiatan-kegiatan seperti ini yang ada turunannya ke konsumsi masyarakat maupun konsumsi pemerintah dan kita harapkan ke investasi.

Oleh karena itu di dalam kuartal III kita berharap titik balik itu mulai terlihat. Memang di Juni titik balik dari pemburukan April, Mei terlihat terutama pada rekaman google mobility indeksnya yang sekarang meningkat, walaupun masih di bawah normal, baseline minus 12, tp itu lebih baik dari waktu kondisi Mei minus 24%.

Dari sisi lain, dari kegiatan yang terekam oleh penerimaan perpajakan mulai terlihat, perdagangan besar dan eceran dan beberapa industri terutama makanan dan minuman, itu juga tunjukan sesuatu yang positif. Oleh karena itu, kuartal III memang kita tantangannya bagaimana kita jaga momentum pembalikan itu yang mulai terlihat pada bulan Juni. Rekaman yang kita lihat di bulan Juli memang menunjukkan signal mix, satu sisi ada pembalikan terus berlangsung dan di sisi lain mulai menunjukkan flat lagi. Nah ini yang saya sampaikan, bahwa kita melihat pembalikan arah ekonomi menuju positif masih sangat dini dan kaku. Kenapa itu terjadi? karena memang walaupun kegiatan mobilitas masyarakat mulai meningkat dibandingkan bulan April dan Mei, namun mobilitas itu tidak langsung diterjemahkan ke kegiatan konsumsi maupun investasi.

Konsumsi masih tertahan, kalau kita lihat di berbagai mall, mungkin jumlah yang hadir tidak selalu terjemahannya jumlah yang membeli. Dan juga kalau kita lihat dari kegiatan-kegiatan sektor produksi seperti manufaktur, kemudian transportasi dan pergudangan, itu mereka masih cukup alami tekanan meski lebih baik dari kuartal II.

Kuartal ketiga kita masih memiliki waktu 1,5 bulan, pemerintah akan menggunakan semua instrumen yang dimiliki untuk terus menjaga pemulihan atau pembalikan arah ekonomi kita menuju positif. Bagaimana caranya? kita tentu tetap fokus dari sisi kesehatan, semua resource yang dimiliki namun yang lebih penting adalah langkah-langkah policynya. Karena dari sisi kesehatan disiplin pakai masker dan mencari arah untuk vaksinasi.

Kalau non kesehatan, bantuan sosial kita perluas. Selama ini 20 juta masyarakat dari PKH dan sembako maka akan ditambah 9 juta lagi menjadi 29 juta keluarga yang dapat mulai dari BLT, transfer cash maupun sembako. Kita masih menambah lagi sekitar 11 juta di daerah pedesaan dan sekarang Presiden tambahkan bantuan presiden. Ini kepada UMKM semi seperti usaha di keluarga. Itu ada sekitar 9 juta ditargetkan, plus pemerintah memberikan tambahan bantuan untuk mereka anggota BPJS Ketenagakerjaan untuk mendapatkan tambahan cash untuk yang pendapatannya di bawah Rp 5 juta. Ini semua adalah bansos yang diperluas antara yang pure sosial sampai bantuan yang sosial produktif.

Nah dari sektor UMKM sendiri, pemerintah berikan bantuan dalam bentuk subsidi bunga, kredit modal kerja. Kita berharap Rp 130 T untuk disalurkan ke usaha kecil menengah plus korporasi total menjadi Rp 172T atau Rp 180 T. Itu adalah kredit yang diharapkan bisa disalurkan. Itu kita harapkan mendorong sisi produksi maupun konsumsinya. Jadi kita berharap kuartal ketiga ini dengan berbagai instrumen pemerintah pembalikan ekonomi bisa dipertahankan dna bahkan diakselerasi. Sehingga overall ekonomi bisa mendekati netral.

Untuk menjaga titik balik, masih perlu program tambahan untuk bisa speed up pemulihan?

Kita dari sisi pemerintah melakukan atau pendekatan kita terutama untuk sisi sosial dan ekonomi adalah sifatnya fleksibel, karena kita lihat semua policy itu yang kita pikirkan bisa jalan, dalam situasi pandemi kadang-kadang menghadapi tantangan yang tidak mudah. Jadi tadi misalnya seperti delivery tadi, cash transfer barang kali bisa dilakukan kalau kita punya nama, alamat dan nomor account dan data base seperti ini masih disusun oleh pemerintah, terutama untuk masyarakat yang membutuhkan tadi, yang disebut 20 juta terbawah plus 9 juta jadi 29 juta.

Di pedesaan kita masih juga perlu tambah data base mereka, by name, by address dan by account number. Kalau untuk UMKM juga lebih menantang. Kita kalau bicara UMKM kalau bicara populasi bisa sampai 64 juta. Namun yang benar-benar datanya dimiliki oleh pemerintah ada nama, unit usahanya dimana lokasinya, dan kalau dalam hal ini account number, itu masih sangat sedikit yang datanya itu komplit.

Kita punya seperti di BRI yang account dibawah 2 juta, kita punya di BNI, kita punya di PMN yaitu para ibu-ibu yang punya usaha kecil mikro, kita punya di PIP ultra mikro, jadi uMi, Mekar, Pegadaian itu semuanya totalnya bisa mencapai 8 juta plus 4 juta, 10 juta plus di BRI dan BNI. Maka total populasi semuanya kita bisa lihat kalau lengkap ada nama, alamat sekitar 15 jutaan. Namun itu bisa aja overlap ditambah kredit usaha rakyat dan dalam hal ini sekitar 5-6 juta. Kalau kita combain semua kita bisa ada policy lebih target.

Situasi covid ini selalu menahan kita karena pendekatan fisik tidak bisa, mobilitas menjadi terhalang karena adanya tantangan covid tadi. Oleh karena itu desain policy nya selalu kita buat fleksibel. Kemudian inisiatifnya bapak Presiden memberikan bantuan presiden produktif itu juga karena bantuan usaha kecil menengah yang kita berikan bantuan dalam bentuk subsidi bunga dan penangguhan kredit ternyata dampaknya nggak langsung dirasakan dan masih banyak prosedur harus dilewati melalui lembaga keuangannya sehingga kita sekarang membalik, oh kita memberikan bantuan produktif langsung saja supaya mereka langsung mendapatkan bantuan. Itu adalah salah satu contoh.

Kalau bantuan ke masyarakat, listrik umpamanya, tadinya hanya untuk 450-900 tapi ternyata industri bisnis dan sosial semuanya membutuhkan. Kita tambahkan Rp 3 T untuk mereka mendapatkan keringanan dari tagihan listrik. Kemudian banyak sekali kuota internet karena sekarang semuanya menggunakan WFH. Untuk lingkungan pemerintah sendiri kita membuat policy sebagian dari belanja barang yang tidak bisa diserap bisa dialihkan menjadi kuota internet bagi pegawai yang WFH.

Untuk mahasiswa dan siswa sekarang sudah diputuskan akan mendapatkan kuota internet tapi tantangannya selalu adalah nama dan targetnya. Namun alokasi anggarannya kita buat. Ini yang saya sebutkan tadi berbagai langkah dibuat secara fleksibel dengan kemudian melihat dari sisi kesiapan sistemnya. Apakah program itu bisa dieksekusi. Ini lah yang kita harapkan pada kuartal III dan IV akselerasi dan fleksibilitas ini bisa mendorong perekonomian kita ke arah pembalikan yang lebih baik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menghadiri Rapat Paripurna DPR dengan agenda tanggapan Pemerintah terhadap Pandangan Fraksi atas RUU tentang P2 APBN TA 2019. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani menghadiri Rapat Paripurna DPR dengan agenda tanggapan Pemerintah terhadap Pandangan Fraksi atas RUU tentang P2 APBN TA 2019. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Posisi dan daya tahan RI dalam mengantisipasi resesi seberapa kuat?

Kita memiliki kondisi paling tidak jika dibandingkan antar negara pada Kuartal II, di mana kontraksi ekonomi Indonesia mencapai 5,3%. Ini tentu sesuatu yang sangat sangat dalam dibandingkan selama 10 tahun terakhir tumbuh di atas 5% tapi jika dibandingkan dengan negara negara lain yang sama sama hadapi covid kondisi banyak yang alami double digit, ada yang 11%, 17%, yang paling dalam Spanyol 22%, dan negara tetangga Singapura 13%, Malaysia 17% dan Thailand minus 12%. Artinya semua negara hadapi tantangan covid memukul pertama konsumsi, Sebab masyarakat tidak lagi melakukan aktivitas dan stay at home. Kemudian terkena sisi investasi tergantung berbagai sektor, perdagangan kena duluan, manufaktur PMI dari berbagai negara merosot sampai di level di bawah 30% kemudian mulai recover.

Daya tahan ekonomi Indonesia di lihat di Kuartal II kontraksi kita nggak sedalam negara negara lain, maka kita lihat Indonesia masih cukup resilient dibandingkan negara lain yang pasti kontraksinya double digit untuk kontraksinya. Artinya dalam hal ini respon pemerintah untuk mendorong terutama di kelompok yang bawah yaitu kelompok yang tadi 29 juta atau kita sebutnya 40% terbawah dari keluarga itu, kita sudah tambahkan banyak sekali bantuan.

Sehingga penurunan konsumsi diharapkan pada level itu tidak menurun sangat tajam, karena memang mereka dalam situasi yang sangat rapuh. Menengah atas itu konsumsinya di rumah tapi mereka masih bisa melakukan berbagai kegiatan melalui digital, membeli melalui online dan yang lain-lain jadi pindah ke digital itu terjadi.

Tapi tidak men-subtitute keseluruhan nya seperti orang yang biasanya pergi beli kopi atau nongkrong di warung atau pergi di restoran nonton bioskop itu terjadi dan yang paling juga terpukul sektor transportasi, entah darat dan udara karena orang tidak melakukan traveling dan itu berarti hotel restoran atau sektor pariwisata mengalami tekanan.

Kita di dalam hal ini mencoba untuk memformulasikan kebijakan melihat dari dua aspek demand side konsumsi kelompok yang bawah yang sangat rapuh namun juga memberikan confidence kepada kelompok Menengah Atas untuk mereka mulai bisa beraktivitas dan konsumsi.

Kemudian sisi investasi makanya kemarin bapak Presiden mengatakan tolong dilihat lagi tidak hanya dari sisi belanja pemerintah tapi juga dari kegiatan investasi swasta yang kemarin mungkin terhenti karena terjadinya PSBB sekarang mungkin bisa direalisir lagi secara bertahap. Ini sama dengan proyek-proyek pemerintah. Proyek Pemerintah mengalami perlambatan yang sekarang oleh beberapa menteri teknis seperti PUPR, transportasi kembali di akselerasi pada Kuartal ketiga dan keempat.

Jadi poin saya adalah kalau dari resources APBN kita 2020 itu sudah mengalokasikan cukup banyak resource untuk mendorong baik sisi demand dan supply berdasarkan sektor dan bahkan pemerintah daerah instrumen kita gunakan semua itu yang ada dari insentif pajak sampai kita memberikan belanja tambahan sampai dari sektor pembiayaan dan penempatan dana di perbankan.

Ini artinya kita keroyokan gitu. Nah kita dengan langkah-langkah itu berharap tadi daya tahan ekonomi Indonesia itu cukup tetap terjaga walaupun tekanan sekarang ini masih berlangsung terus karena covid kan belum hilang dan orang masih melihat dari sisi cuma penyebaran bahkan sekarang hampir di semua daerah di Indonesia terkena dan yang tadinya merah sudah mau mendekati orange kuning kembali lagi ke merah .

Jakarta, Jawa Timur masih struggle bahkan sekarang juga Jawa Tengah dari sisi kegiatan ekonomi yang sangat berdampak, Jawa Barat jelas itu dekat dengan Jakarta.

Jadi kita lihat yang pulau Jawa yang merupakan kontributor lebih dari 50% dari GDP Indonesia masih sangat apa menghadapi kondisi covid masih struggle. Kombinasi berbagai stimulus kita coba untuk bisa memberikan daya tahan.

Posisi pembangunan infrastruktur kita ada di mana?

Kita untuk infrastruktur adalah merupakan salah satu indikator untuk menjaga produktivitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sehat, karena pertumbuhan ekonomi pasti akan memunculkan permintaan terhadap infrastruktur atau infrastruktur juga bisa mendukung pertumbuhan ekonomi. Jadi infrastruktur itu seperti pedang dengan dua mata sisi yaitu sisi permintaan dan sisi supply sidenya atau produk lainnya yang jelas dorong produktivitas. Makanya Presiden terus menenkankan penting mengejar infrastruktur gap di mana Indonesia sebagai negara kelas menengah memiliki gap sangat tinggi.

Alokasi APBN selama tahun 2014 sampai dengan 2019 itu terus ditingkatkan untuk bidang infrastruktur.

Untuk 2020 karena kondisi pandemic, memang kemarin kita melakukan refocusing jadi banyak belanja yang di refocus untuk menangani covid.

Saya lihat Menteri PUPR di luar biasa dampak yang sangat besar pada Kuartal II. Sekarang kita catch up lagi dengan katakan, ayo sekarang kita membelanjakan selama dia masih aman covid.

Jadi infrastruktur tetap akan menjadi arah yang luar biasa penting bagi kita untuk bisa menangani pemulihan ekonomi dan sekaligus meningkatkan produktivitas jangka panjang. Tahun 2020 dan 2021 kita mulai terutama untuk pembangunan infrastruktur.

Kemarin dalam RAPBN 2021 kita menyampaikan infrastruktur lebih dari Rp 400 T dan infrastruktur tidak hanya jalan, jalan tol kemudian irigasi air bersih, namun juga yang paling penting ICT, karena kita merasakan betul selama pandemi ini di mana orang tidak lagi bisa melakukan aktivitas secara mobilitas fisik maka mobilitas digitalnya masih harus dan harus menjadi substitute yang bisa mengurangi dampak yang luar biasa. Makannya di dalam APBN 2021 presiden menyampaikan ICT merupakan backbone harus diberikan tambahan untuk anggaran.

Makanya kemarin kita bicara 5 tahun bagaimana supaya konektivitas dari seluruh pelosok Republik Indonesia bisa terjadi. Sekarang ini masih ada 12.000 lebih desa yang belum terkoneksi dari sisi internet atau dalam hal itu koneksi digital. Kita targetkan secara bertahap mereka harus bisa, sama seperti rasio elektrifikasi sekarang rasio konektivitas dari sisi digital atau internet dan itu dilakukan melalui investasi.

Strategi mendanai anggaran jika penerimaan pajak masih kurang kondusif ke depan khususnya efek pandemi?

Kalau dilihat dari sisi penerimaan pajak sampai Juli ini kita melihat kondisi dari dunia usaha memang menghadapi situasi yang tidak mudah. Jadi kita lihat penerimaan pajak untuk PPh 21 karyawan dan PPh 25 alami kontraksi sampai dengan PPN.

Bahkan meskipun untuk beberapa indikator dan mulai pulih lagi tapi pulihnya tidak langsung positif. Selain itu memang penerimaan pajak kita, tidak hanya dari sisi pengumpulannya tapi kita juga menggunakan instrumen pajak untuk memberikan insentif. Makanya beberapa insentif yang kita berikan diskon untuk pembayaran masa korporasi kita turun dari 30% menjadi 50%. PPh 21 karyawan kita tanggung pemerintah, PPN-nya dipercepat.

Itu semuanya tujuannya adalah dunia usaha itu dalam situasi Covid, mereka juga mendapatkan support dari pemerintah dalam insentif perpajakan tadi. Oleh karena itu penerimaan pajak kita memang mengalami kontraksi. Di dalam perpres 72 kita tadinya estimasi kontraksi akan 10-12%.

Kita melihat memang ini adalah estimasi yang hati-hati karena, kalau kita lihat sampai dengan bulan Juni memang kontraksinya hanya sekitar 10% dan bulan Juli ternyata kontraksinya ada 12,4%.

Nah kita akan lihat kalau kegiatan ekonomi mulai membaik kita berharap kita tetap menjaga. Dengan penerimaan pajak yang mengalami penurunan dan PNBP kita dari sumber daya alam minyak turun, royalti, batu bara turun hanya CPO sedikit baik, emas ekspor membaik. Tapi PNBP alami penurunan, sedangkan belanja naik, makanya kita melihat defisit 6,34% pasti ada konsekuensi ke pembiayaan.

Bagaimana pemerintah melakukan strategi pembiayaan lihat cara kita untuk melakukan. Pertama bersama burden dengan Bank Indonesia karena situasinya sangat tidak biasa extra Ordinary maka yang disebut dengan burden sharing Bank Indonesia. Kita rumuskan secara hati-hati, kita komunikasi baik antara BI dengan kami berjalan luar biasa baik untuk membahas bersama ini gimana caranya kita menjaga ekonomi secara bersama-sama dari fiskal, moneter dan dari keseluruhan sustainabilitas ekonomi kita. Maka kemudian kita memutuskan pertama Bank Indonesia dengan pemerintah setuju bahwa bank Indonesia bisa ikut dari sisi lelang surat berharga di pasar primer. Ini menstabilkan sekali, karena kemudian market tahu bahwa ada Bank Indonesia yang akan bisa menjadi standby buyer untuk kebutuhan defisit pemerintah yang meningkat melalui market mekanisme, itu dianggap fair.

Namun kemudian kita lihat karena belanjanya luar biasa besar dan itu adalah untuk manfaat publik, maka kita mulai merumuskan ada bagian dari belanja yang dibiayai oleh BI secara extraordinary yaitu BI melakukan Private placement langsung kepada pemerintah dengan suku bunga yang semuanya ditanggung oleh BI. Ini adalah mekanisme yang kita sebut extraordinary dan kita sudah sampaikan ini hanya dilakukan di tahun 2020.

Sebesar Rp 397 triliun yang semuanya untuk program kesehatan, program perlindungan sosial dan program untuk membantu sektoral pemerintah daerah, karena ini yang dianggap core public atau public function. Itu digotong bersama dengan BI melalui mekanisme private placement non-market dan suku bunganya di tangggung BI. Namun ini hanya dilakukan tahun 2020 karena kami ingin juga mengatakan bahwa seluruh upaya ini tidak mengorbankan disiplin fiskal dan moneter.

Karena ini kenapa penting, Walaupun memang berat, namun Indonesia pasti akan lewat dari covid ini dan di dalam masa sesudah covid semua akan melihat Apakah kerangka kebijakan fiskal moneter dan makro kita tetap prudent, tetap sustainable, namun kita tetap support terhadap pemulihan ekonomi.

Inilah yang kita rumuskan bersama-sama dengan BI, maka komunikasi kita sangat jelas. Untuk 2020 yang suasananya luar biasa extraordinary, exceptional maka dilakukanlah langkah pembiayaan yang sifatnya exceptional. Namun untuk tahun-tahun ke depan disiplin fiskal dan moneter akan terus dijaga bersama.

Umpanya defisit kita yang disampaikan kepada DPR untuk tahun depan 5,5% kita sudah tunjukkan sumber dari pendanaanya selain surat berharga yang dikeluarkan melalui market, pinjaman dari bilateral dan multilateral, kita juga tetap akan menjaga atau menggunakan SILPA yang ada atau sumber-sumber yang selama ini dimiliki.

BI partisipasinya akan tetap melalui market mekanisme ini adalah salah satu komitmen untuk menunjukkan transparansi dan disiplin baik di sisi fiskal dan moneter nya. Itu penting bagi Indonesia di masa kini dan kedepan.

Mengenai memaksimalkan stabilitas sistem keuangan, apakah perlu reformasi di tubuh pengawas sistem keuangan Indonesia?

Kalau kita hadapi covid19 yang memang ini situasi luar biasa, maka waktu kita meresponnya dengan mengeluarkan Perppu bapak Presiden menyampaikan pada akhir Maret dan diundangkan dan diterima DPR menjadi UU Nomor 2/2020, ini menandakan situasi covid luar biasa pengaruhnya, di dalam Perppu ini dilihat atau di address isu dari sisi dampak covid implikasinya ke APBN keuangan negara yang sangat besar.

Seperti yang tadi kita bahas di segmen sebelumnya dan dari sisi Stabilitas Sistem Keuangan, karena kalau kita lihat dengan adanya covid kegiatan eko masyarakat menurun, korporasi mengalami tekanan yang luar biasa, maka ini akan merembes kepada sektor keuangan, dan memang terlihat katakanlah kita lihat dari sisi NPL perbankan kita yang sudah meningkat. Tahun lalu bulan Juni mungkin masih di 2,5% sekarang sudah di atas 3,1%, dan kalau dilihat dari sisi pertumbuhan kredit, kalau tahun lalu masih di 8-9%, sekarang hanya sampai Juni 1,4%.

Jadi artinya pengaruh adanya covid ini mempengaruhi ke seluruh elemen ekonomi termasuk sektor keuangan. Namun kalau kita lihat CAR dari sektor perbankan kita masih relatif cukup baik meskipun kita tetap waspada.

Nah Langkah-langkah oleh pemerintah, OJK, BI, dan LPS dalam wadah KSSK adalah bagaimana kita tetap menjaga kemungkinan terjadinya atau forward look antisipasi terhadap kondisi covid yang belum selesai ini terhadap ketahanan sektor keuangan, apakah Perbankan, LKNB, termasuk pasar modal.

Beberapa gejolak yang terjadi luar biasa pada April dan mei kemarin seperti terjadinya capital outflow, harga saham jatuh, SBN kita harganya jatuh dalam hal ini yieldnya meningkat, nilai tukar kita mengalami tekanan, itu menunjukan bahwa sebelum indikator ekonomi riilnya itu mengalami dampak, kepanikan sudah pengaruhi sektor keuangan.

Nah dalam situasi ini, kita dengan KSSK melihat, apa nih di dalam peraturan perundang-undangan dan mekanisme kerja serta instrumen policy kita, yang mana yang kemungkinan masih terjadi kerapuhan atau belum memadai kalau sampai terjadi ekonominya mengalami tekanan seperti ini dalam waktu yang cukup lama.

Kita perkirakan untuk 2020 seperti yang semua orang sampaikan apakah akan ada second wave, apakah kita bisa recover, dan tahun 2021 sudah ada vaksin atau orang makin normal kegiatannya, nah situasi seperti antisipasi ini kita lakukan dan kita terus perbaiki mekanisme kerja di antara para regulator dan policy maker sektor keuangan.

Ada timeframe spesifik reformasi ini selesai atau sudah berhasil?

Beberapa langkah yang sekarang sudah dilakukan seperti berdasarkan UU Nomor 2/2020, LPS diminta untuk bisa melakukan lebih aktif. Namun memang kita mengakui bahwa seluruh kerangka perundang-undangan ini di dalam situasi sekarang ini semuanya teruji. UU dari LPS sendiri yang memang dilahirkan jauh sebelum terjadi covid tahun 2004, UU mengenai OJK, UU mengenai BI, UU mengenai PPKSK yaitu mengenai bagaimana SSK, itu semua didesain dalam situasi normal dan tidak mengantisipasi. Meskipun pernah didesain dalam situasi krisis tapi itu krisis 97-98, dan krisis 2008-2009.

Krisis sekarang nature-nya berbeda dan oleh karena itu implikasinya juga memiliki karakter yang berbeda yang harus kita tetap terbuka pikirannya, ini dampaknya seperti apa maka kita terus melakukan apa ini di dalam UU yang menjadi kendala, dan apa dalam mekanisme antara OJK, BI, LPS yang belum betul-betul klik atau dalam hal ini bersama-sama apa yang disebut jaring pengaman sektor keuangan.

Karena kalau kita bicara soal sosial masyarakat mengalami tekanan pemerintah membuat jaring pengaman sosial, di sektor keuangan kita harus punya jaring pengaman sektor keuangan. Dan kita memang melihat di dalam konteks ini ada ketidakcukupan atau tidak kesempurnaan dari jaring pengaman ini yang harus kita perbaiki. Maka ada yang sebagian yang melalui MoU, ada yang memang harus melalui dari perubahan UU, ini yang kita lakukan identifikasi mengenai peran LPS, peran OJK, peran BI di dalam menjaga SSK bersama KSSK yaitu Kementerian Keuangan.

Proyeksi PDB Q3 dan Posisi Rupiah hingga akhir tahun dari Kementerian Keuangan?

Kalau kita lihat dari kuartal II, kita melihat rance antara minus 2% hingga 0%. Karena walaupun mobilitas indek meningkat tapi terjemahannya kedalam kegiatan konsumsi dan investasi belum bisa betul-betul diyakinkan. Makanya tadi saya sebutkan bulan Juli itu indikator recoverynya masih dini dan rapuh. Pertahanannya nanti di Agustus ini yang semua K/L mengakselerasi belanjanya.

Kalau nanti akselerasi belanja dan confident konsumen sudah mulai pulih terutama tadi kelas menengah atas dan kontraksi investasi bisa diturunkan, kalau sekarang kontraksi lebih dari 5% dan investasi bahkan 8,6% di kuartal II, kalau seandainya kontraksi investasi bisa lebih diturunkan dan lebih kecil dalam hal ini mendekati nol dan konsumsi juga mendekati zona netral yaitu nol maka kita bisa berharap Kuartal III bisa mendekati 0%.

Namun ini tentu sangat tergantung confident konsumen, keyakinan untuk bisa melakukan kegiatan. Nah ini yang kita lihat dan total dari keseluruhan kita masih berharap antara minus 1% sampai positif 0,2%.

Kalau nilai tukar kita lihat selama beberapa waktu yang lalu pernah mengalami tekanan terutama April sampai dengan Mei. Tapi sekarang mulai ada akselerasi apresiasi dan kita lihat pada level yang hampir sama dengan dalam Perpres 72 asumsi kita mengenai nilai tukar dan menurut saya itu masih akan dynamic tergantung situasi globalnya sendiri. Karena apa yang terjadi di AS, RRT dan pemulihan ekonomi global, itu juga akan mempengaruhi sentimen juga. Namun Indonesia akan tetap menjaga fundamentalnya.

Simak juga video terkait sebagai berikut:

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments