Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) saat ini banyak menjadi pokok pembahasan karena diyakini menjadi salah satu faktor yang akan memastikan sustainibilitas suatu organisasi. Di NKRI saat ini, satu-satunya  Lembaga yang ditunjuk untuk melaksanakan dan mengembangkan sertifikasi kompetensi kerja adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sesuai dengan PP No. 10 Tahun 2018.

Dalam pelaksanaannya, BNSP memberikan lisensi kepada Lembaga sertifikasi profesi (LSP) sebagai perpanjangan tangan dalam melakukan kegiatan sertifikasi kompetensi.

Dalam pemberian lisensi, BNSP memberikan lisensi yang dikategorikan kepada tiga jenis, LSP yaitu:

  1. LSP Pihak Ketiga yang dikenal dengan sebutan LSP P3.
  2. LSP Pihak Kedua yang dikenal dengan sebutan LSP P2.
  3. LSP Pihak Kesatu yang dikenal dengan sebutan LSP P1.
    – LSP Pihak Kesatu Industri
    – LSP Pihak Kesatu Lembaga Pendidikan dan/atau Pelatihan
    Kemudian, dari ketiga jenis atau tipe LSP tersebut, mana LSP yang paling baik atau paling tinggi derajatnya? Tentu saja akan banyak argumentasi terkait ini, namun dalam hemat penulis pembagian jenis LSP tersebut tidak dapat ditentukan melalui mana yang derajatnya paling tinggi atau paling baik, karena masing-masing jenis LSP tersebut tergatung dari kebutuhan dan sifat dari asesinya.

Banyak orang yang masih kesulitan atau masih banyak yang salah dalam membedakan ke tiga jenis LSP ini.

Pemilihan jenis LSP ini akan sangat bergantung pada kebutuhan dari individu maupun organisasi pelaksana LSP. Masing-masing jenis LSP memiliki peran fungsi masing-masing tergantung pada asesinya.

  • LSP pihak Ketiga,
    LSP P3 adalah LSP yang didirikan oleh asosiasi industri dan/atau asosiasi profesi dengan tujuan melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja untuk sektor dan atau profesi tertentu sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP.
    LSP P3 berfungsi sebagai Lembaga yang memastikan kompetensi individu berdasarkan profesi/keahlian seseorang yang biasanya tanpa diperlukan persyaratan mengenai kelulusan dari suatu Lembaga Pendidikan tertentu. Selama individu merasa telah memiliki dan memenuhi suatu kualifikasi atau keahlian, individu tersebut berhak untuk mengajukan uji kompetensi.
  • LSP pihak Kedua,
    LSP P2 adalah LSP yang didirikan oleh industri atau instansi dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap sumber daya manusia lembaga induknya, sumber daya manusia dari pemasoknya dan/atau sumber daya manusia dari jejaring kerjanya, sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP.
  • LSP pihak Kesatu,
    LSP P1-Industri adalah LSP yang didirikan oleh industri atau instansi dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap sumber daya manusia lembaga induknya, sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP.
    LSP P1-Lembaga Pendidikan dan/atau Pelatihan adalah LSP yang didirikan oleh lembaga pendidikan dan atau pelatihan dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap peserta pendidikan/pelatihan berbasis kompetensi dan/atau sumber daya manusia dari jejaring kerja lembaga induknya, sesuai ruang lingkup yang diberikan oleh BNSP.LSP P1 dan/atau LSP P2 berfungsi sebagai Lembaga yang memastikan kompetensi dengan menyediakan Pendidikan Vokasi atau pelatihan yang berdasarkan kualifikasi atau keahlian. Dalam sistem Pendidikan ini terdapat Lembaga pelatihan yang menyiapkan individu untuk memiliki kompetensi sesuai dengan kualifikasi atau keahlian dan kompetensi tersebut dipastikan dengan adanya uji kompetensi yang dilakukan oleh LSP P1 atau LSP P2.

Sehingga dalam hemat penulis LSP P1, LSP P2, dan LSP P3 sejatinya merupakan suatu kesatuan ekosistem yang akan saling berhubungan, saling mendukung satu sama lain, dan bermanfaat bagi pengguna.

LSP P1 dan P2 akan memberikan manfaat positif dimana individu dan organisasi akan memperoleh pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu sesuai dengan keahlian dan kualifikasinya, serta pemenuhan kompetensi yang dipastikan dengan adanya uji kompetensi.

Sementara itu, ketika individu tersebut telah memiliki kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan kualifikasi maka individu tersebut bisa memastikan kembali kompetensinya dengan diuji melalui LSP P1 dan LSP P2, atau bisa diuji kompetensinya kembali di LSP P3.

Terkait dengan pemilihan jenis LSP, sering kali aspek praktis yang sering diperbincangkan dan dipertentangkan adalah terkait dengan kegiatan sertifikasi ulang. Dalam konteks ini penulis akan mencoba melihat dari perspektif regulasi dan juga standar yang dapat digunakan LSP.

Dari perspektif regulasi, merujuk pada pedoman BNSP 210 tahun 2017, menyatakan bahwa LSP P1 tidak melaksanakan sertifikasi ulang/perpanjangan sertifikasi sehingga apabila seorang pemegang sertifikasi LSP P1 telah habis masa berlaku sertifikatnya maka diharuskan untuk melaksanakan asesmen ulang.

Hal yang perlu dicermati lebih lanjut adalah apakah proses/prosedur sertifikasi ulang telah menjamin adanya pemastian terhadap kompetensi seseorang pada saat sertifikasi ulang. Hal ini tentu kembali pada kebijakan masing-masing LSP dalam hal sertifikasi ulang dan tentu saja sejalan dengan regulasi yang ditetapkan.

Dari perspektif standar, pada tataran internasional, terdapat Standar Internasional bagi Lembaga Sertifikasi Person yaitu ISO 17024. Standar ini juga diadopsi oleh BNSP dalam pedoman BNSP 201.  Beberapa catatan mengenai standar ISO 17024 diantaranya adalah dalam standar ISO 17024 tidak terdapat pemisahan jenis/tipe LSP. Sementara itu, pemisahan jenis/tipe LSP dibedakan oleh BNSP yang tertuang pada PBNSP 202.

Jika merujuk pada Standar Internasional Sertifikasi Person – ISO 17024, terkait dengan sertifikasi ulang dijelaskan pada klausul 9.6 yang menyatakan bahwa kegiatan sertifikasi ulang yang dipilih harus cukup untuk memastikan asesmen yang netral untuk mengonfirmasi keberlanjutan kompetensi person, dimana harus mempertimbangkan beberapa hal diantaranya:

  1. Asesmen lapangan.
  2. Pengembangan professional.
  3. Wawancara terstruktur.
  4. Konfirmasi rekaman mengenai pekerjaan yang memuaskan dan pengalaman kerja.
  5. Ujian.
  6. Pemeriksaan kemampuan fisik terkait dengan kompetensi yang diperlukan.

Kita harus memahami bahwa dalam pelaksanaan sertifikasi ulang ini LSP akan menerapkan metode yang berbeda dikarenakan ada aspek regulasi dan aspek standar yang menjadi pertimbangan. Saat ini yang umum terjadi di Indonesia terkait dengan sertifikasi ulang adalah adanya program pemeliharaan kompetensi yang diharuskan oleh LSP untuk menjaga kompetensi pemegang sertifikasi dan program pemeliharaan ini dijadikan dasar dalam perpanjangan masa berlaku sertifikat.

Dalam praktiknya, program pemeliharaan kompetensi ini umumnya dijalankan atas keikutsertaan pemegang sertifikasi terhadap suatu kegiatan yang akan diklaim sebagai poin pemeliharaan atau program pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB).

Dalam perspektif standar ISO 17024, program pemeliharaan kompetensi diharuskan namun untuk memastikan kompetensi seseorang terbaharui maka diperlukan asesmen untuk mengonfirmasi keberlanjutan kompetensi pada saat sertifikasi ulang. Metode yang digunakan dalam proses sertifikasi ulang harus memastikan bahwa seseorang yang disertifikasi ulang memang memiliki kompetensi yang terbaharui sesuai dengan persyaratan. Salah satu proses pemastian mengenai kompetensi yang dimiliki pada saat sertifikasi ulang, apabila merujuk pada ISO 17024, diantaranya dapat dilakukan dengan adanya asesmen ulang. Oleh karena itu, dalam perspektif standar ISO 17024, LSP diharuskan melaksanakan asesmen ulang pada saat perpanjangan sertifikat.

Namun, hal ini akan kembali pada keputusan masing-masing LSP. Bagi LSP yang telah terakreditasi ISO 17024, tentu saja seluruh aspek dalam standar harus ditetapkan termasuk adanya asesmen ulang pada saat sertifikasi ulang.

Semoga dengan adanya tulisan ini dapat memberikan gambaran mengenai Jenis Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang ada di Indonesia sehingga dapat memilih LSP sesuai dengan kebutuhan bagi individu maupun organisasi pengguna.